"Sektor informal ini banyak. Buruh bangunan, pedagang sayur, pedagang asongan, juru parkir, penjahit, buruh cuci, sopir angkot, nelayan, petani, dan lain-lain. Mereka dipastikan juga merasakan dampak dari pemberlakuan PPKM. Sayangnya, mereka ini tidak terdata dengan baik. Nah, mestinya mereka ini yang juga mendapat bantuan dan perhatian," pinta Saleh.
Dari sisi gaji, sambung dia, target sasarannya sekarang diturunkan. Tahun lalu, pekerja yang bergaji di bawah Rp 5 juta. Sekarang, yang bergaji di bawah Rp 3,5 juta dan jumlahnya diperkirakan menyasar 8 juta orang. Kalau bantuannya sebesar Rp 1 juta, maka diperlukan Rp 8 tiliun. Kalau dilakukan pendataan, pekerja informal yang tidak terdata di BPJS Ketenagakerjaan ini banyak yang gajinya di bawah 3,5 juta. Bahkan, kondisi mereka lebih sulit lagi di masa pandemi ini.
Saleh memgakui bahwa tidak mudah untuk mendata pekerja informal ini. Tetapi, itu adalah bagian dari tanggung jawab Kemenaker. Jika mereka dilupakan, akan ada nuansa ketidakadilan dalam pemberian bantuan sosial seperti ini. Padahal, secara faktual, mereka adalah warga negara yang dilindungi oleh konstitusi. Dalam Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 jelas dinyatakan bahwa, “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
"Dalam konteks itu, sudah semestinya para pekerja informal ini dimasukkan dalam skema penerima BSU," tegasnya.
Ketiga, Saleh menjelaskan, ada banyak pekerja yang berstatus TKS (tenaga kerja sukarela) di daerah-daerah yang upahnya jauh di bawah UMK. Mereka ini diangkat untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di banyak kabupaten/kota. Masalahnya, APBD yang tersedia tidak mampu untuk menggaji mereka secara proporsional.