IDXChannel - Risiko resesi global mengancam sejumlah industri yang selama ini lebih banyak mengekspor produknya daripada menjualnya di dalam negeri. Salah satunya Industri mebel. Sementara itu, mengalihkan produk yang selama ini diekspor ke pasar domestik juga tidak mudah.
Hal itu diungkapkan Ketua Presidium Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI).
Menurutnya, setidaknya membutuhkan waktu antara 5 hingga 10 tahun untuk bisa mengimbangi ekspor dan menguasai pasar domestik. Hal tersebut terjadi karena pelaku industri sudah terbiasa untuk melakukan ekspor, khususnya ke Amerika Serikat dan Eropa.
"Masing - masing negara memiliki minat yang berbeda dalam industri mebel. Sehingga harus disesuaikan. Sementara, pelaku industri sudah terbiasa untuk memasok pesanan custom sesuai dengan minat dari AS dengan kuantitas tertentu," ujar Abdul Sobur dalam program Market Review IDX Channel, Jumat (12/5/2023).
Sehingga, berbagai penyesuaian harus dilakukan untuk mengalihkan pasar produk furniture ke dalam negeri. Di antaranya melakukan riset mengenai minat desain furnitur di Indonesia dan melakukan branding agar masyarakat Indonesia bisa mengenal pelaku industri mebel di dalam negeri.
Kendati demikian, hal tersebut semakin dipersulit dengan kehadiran retailer furniture besar yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Pemasoknya pun kebanyakan berasal dari China atau negara - negara lainnya.
“Sehingga tentu langkah - langkah branding harus dilakukan. Kami optimis bisa menyasar pasar domestik, karena Indonesia harus menjadi pemain di domestik. Tapi ini dibangun dalam jangka panjang,” imbuhnya.
HIKMI pun membutuhkan peran dari pemerintah, khususnya Kementerian Perindustrian, untuk mendorong pelaku industri dalam mengalihkan pasarnya ke domestik. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan sejumlah insentif untuk mendukung produktivitas dari industri, salah satunya dalam peremajaan teknologi.
“Dengan adanya insentif tersebut, pelaku industri jadi memiliki angin segar untuk mulai mengeksplorasi pasar domestik, sehingga tidak hanya nyaman dengan pasar ekspor, khususnya ke AS atau Eropa. Tentunya pelaku industri juga harus mengantisipasi perlambatan di negara tersebut,” pungkasnya. (NIA)