Di Eropa, perlambatan ekonomi terjadi karena benua Biru ini tengah mengalami krisis energi. Berkurangnya pasokan gas dari Rusia menyebabkan anggaran untuk energi menjadi meningkat.
Di sektor keuangan, Bank Sentral Eropa dipaksa untuk mengikuti kebijakan The Federal Reserve (The Fed) karena depresiasi euro terhadap dolar AS yang memicu inflasi impor. Kondisi inilah yang akan menyebabkan resesi zona Euro kian nyata dengan perkiraan PDB menyusut 1,6% pada 2023. Akibatnya adalah resesi yang lebih dalam di seluruh kawasan ini pada tahun depan.
Sementara Jerman diproyeksi akan menderita dampak paling parah. Kondisi ini disebabkan karena sisi produksi menghadapi kekurangan pasokan gas, penurunan daya saing, dan lebih banyak hambatan ekspor.
“Di Jerman, kekurangan pasokan energi terutama gas alam karena perang Rusia akan sangat mempengaruhi sektor manufaktur Jerman, terlihat dari producer price index lebih dari 46%, sehingga Jerman dan Uni Eropa akan menuju pada resesi,” imbuh Chatib Basri dalam sesi presentasinya.
Untuk Inggris, penurunan kondisi pembiayaan secara cepat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Inflasi di Inggris masih dikatakan tidak terlalu parah akibat kebijakan harga energi grosir oleh pemerintah Inggris dan ketergantungan yang rendah pada gas Rusia.
Mengingat situasi di Barat ini, mungkinkah Indonesia akan mengalami nasib yang sama?
Indonesia Masih Jadi Titik Cerah
Efek tular gemuruh resesi kini sampai juga di Indonesia. Sayangnya, narasi resesi ini digembar-gemborkan oleh para public figure dan influencer di jagat maya tanpa adanya melihat konteks kondisi ekonomi secara keseluruhan.
Laporan S&P Global Ratings Credit Research memproyeksikan pertumbuhan global yang lebih lambat dan permintaan eksternal memang akan membebani kegiatan ekonomi.
Namun, jelas laporan tersebut, di negara-negara besar Asia-Pasifik, seperti China, India, Jepang, hingga Indonesia, disebut tidak akan terlalu kena dampak dari adanya risiko resesi global ini.
Turbulensi ini akan berdampak lebih kecil pada pertumbuhan dibandingkan dengan rata-rata global. Kondisi ini disebut oleh S&P Global Ratings disebabkan karena kondisi ekonomi negara-negara ini yang lebih berorientasi domestik.
Ekonomi yang berorientasi domestik adalah struktur ekonomi domestik yang masih ditandai dengan pertumbuhan PDB yang masih terjaga. Dibanding di era Covid-19, pertumbuhan PDB RI menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang kuat. (Lihat grafik di bawah ini.)
Menurut data BPS, perekonomian Indonesia berdasarkan besaran PDB atas dasar harga berlaku triwulan II-2022 mencapai Rp4.919,9 triliun. Angka ini menunjukkan pertumbuhan sebesar 5,44% (yoy).
Dari sisi produksi, Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 21,27%. Sementara dari sisi pengeluaran, Komponen Ekspor Barang dan Jasa mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 19,74%.