"Lalu apakah China punya tata kelola air yang baik? Tentu saya tidak yakin. Lalu ada masalah persoalan tanah, ahli-ahli di Indonesia jauh lebih paham dibanding ahli-ahli di China terkait dengan kondisi tanah di Kalimantan Tengah. Kita jauh lebih ahli dalam mengelola itu, karena apa? Indonesia memiliki pengalaman," lanjutnya.
Andreas mengatakan masih banyak ahli di Indonesia yang bisa berkontribusi untuk meningkatkan produktivitas padi hibrida, alih-alih mengambil ahli dari China. Beberapa di antaranya berasal dari IPB UGM, dan banyak universitas lainnya yang tak kalah pintar dalam budidaya padi.
"IPB memiliki pengalaman untuk pengembangan lahan pasang surut, lahan gambut, UGM juga memiliki pengalaman di Kalimantan. Jadi ahli-ahli kita jauh lebih pandai dari China kalau terkait persoalan budidaya padi di Kalimantan Tengah," tegas Andreas.
"Ahli China ratusan orang sehingga dari sisi SDM kita sudah kalah. Tapi sekali lagi saya tegaskan varietas yang dikembangkan di China kemudian diterapkan di Indonesia itu perlu adaptasi karena kalau dari sisi tanah dan iklim sudah sangat berbeda. Di China, dikembangkan di iklim sub tropis, Indonesia tropis. Ketika terjadi kenaikan suhu 2 derajat Celcius saja tanaman tidak tahan terhadap suhu yang relatif tinggi. Jadi untuk itu memang amat sangat bagus kalau ini dikerjasamakan dengan peneliti Indonesia," sambungnya.
(FRI)