sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Pemulihan Ekonomi Global Lewat G20, antara Harapan dan Kenyataan

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
10/10/2022 10:00 WIB
G20 didesain untuk merespon krisis global dengan sejumlah inovasi. Bagaimana peran G20 di tengah ramalan krisis tahun depan?
Pemulihan Ekonomi Global Lewat G20, antara Harapan dan Kenyataan. (Foto: MNC Media)
Pemulihan Ekonomi Global Lewat G20, antara Harapan dan Kenyataan. (Foto: MNC Media)

Dampak kebijakan ini kepada PDB negara yang terdampak krisis cukup bervariasi. Dampak di seluruh negara G20 terjadi penambahan PDB 1,2-4,7% pada 2009 dan 0,1-1,0 %. Sementara di negara maju, terjadi penambahan pertumbuhan PDB 1,3-4,4% pada 2009 dan 0,1-1,1% pada 2010.

Defisit di seluruh negara G20 meningkat dari 1,1% sebelum krisis pada 2007 menjadi 8,1 % pada tahun 2009. Angka ini kemudian berhadil diturunkan menjadi 6,9% pada 2010 dan menjadi 3,1% pada 2014.

Sementara itu, di negara berkembang pasar G20, defisit sempat meningkat dari 0,2% pada 2007 menjadi 4,9 % pada 2009. Kemudian turun menjadi 4,2% pada 2010 dan 1,2% pada 2014.

Utang pemerintah secara umum juga berhasil diturunkan. Utang negara maju G20 berada di level 100,6% pada tahun 2007, lalu menyusut menjadi 76,1% pada tahun 2009, 82,1% pada tahun 2010 dan 86,6 % pada tahun 2014.

Sementara negara emerging market G20 mengalami peningkatan utang 38,8% pada 2009 dan menjadi 40,2% pada 2010. Angka ini berhasil diturunkan menjadi 36,4% pada 2014.

Namun, bagaimana G20 menghadapi ramalan ekonomi tahun depan yang diproyeksikan suram? Terlebih dunia belum sepenuhnya pulih dari scaring effects pandemi Covid-19.

Menunggu Kiprah G20 Tahun Depan

Turbulensi ekonomi saat ini tengah dihadapi seluruh dunia. Dari benua Eropa, Asia hingga Australia, semua tengah ketar-ketir dibayangi perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia hanya akan tumbuh 3,2% pada tahun ini dan melambat hingga 2,9% pada 2023.

Sementara itu kata Bank Dunia, produk domestik bruto (PDB) kolektif di kawasan ini diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 0,3% tahun depan.

United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat menjadi 2,5% tahun ini dan turun menjadi 2,2% di tahun depan.

Di Eropa, dampak perang Rusia-Ukraina mempengaruhi stabilitas kawasan tersebut terutama dalam hal pasokan energi. Krisis energi menghantui sejumlah negara benua Biru di antaranya Jerman, Austria, hingga Inggris.

Di Inggris, inflasi telah menyentuh angka tertinggi mencapai 10,1% pada Juli, meskipun turun menjadi 9,9% pada Agustus. Ini merupakan angka tertinggi sejak 1982.

European Systemic Risk Board (ESRB), sebuah lembaga watchdog yang terbentuk menangangani krisis 2008, juga telah memperingatkan, krisis keuangan Eropa sudah di depan mata.

Mengutip The Times, ESRB mewanti-wanti sistem keuangan Eropa menghadapi ancaman krisis sistemik yang disebabkan oleh penurunan nilai aset, suku bunga tinggi dan penurunan harga properti.

Tingkat inflasi tahunan Uni Eropa adalah 10,1% pada Agustus 2022, naik dari 9,8% pada Juli. Setahun sebelumnya, angkanya hanya pada level 3,2%.

Sementara Inflasi tahunan kawasan Euro diperkirakan 10,0% pada September 2022, naik dari 9,1% pada Agustus, berdasarkan perkiraan dari kantor statistik Uni Eropa, Eurostat.

Melihat komponen utama inflasi di kawasan ini, energi menyumbang tingkat inflasi tahunan terbesar mendapai 40,8% pada September, dibandingkan dengan 38,6% pada Agustus.

Diikuti oleh makanan, alkohol & tembakau sebesar 11,8%, dibandingkan denga 10,6% pada bulan Agustus.

Di Inggris, gejolak di pasar keuangan Inggris telah mendorong analis untuk memprediksi bahwa harga rumah bisa turun sebanyak 20% di tengah "pembantaian" di sektor hipotek dan peringatan lonjakan besar dalam biaya pinjaman di jalan.

Bergeser ke Asia, beberapa negara dengan kekuatan ekonomi utama di kawasan ini juga tengah mengalami guncangan serupa.

Jepang, misalnya, nilai tukar mata uang yen sempat mengalami tekanan ke level terendah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan kamis (22/9).

Untuk mengatasi kondisi ini, pemerintah Jepang melalui bank sentral, Bank of Japan (BOJ) melakukan intervensi di pasar valuta asing pada hari Kamis (22/9) dengan membeli yen untuk pertama kalinya sejak tahun 1998.

Mengutip Reuters, upaya ini adalah upaya pemerintah untuk kembali menguatkan yen setelah BOJ terjebak dengan suku bunga yang sangat rendah.

Inflasi negeri Sakura meningkat ke laju tercepat dalam lebih dari tiga dekade. Mengutip Bloomberg, Selasa (20/9/2022), harga konsumen (IHK) tidak termasuk makanan segar naik 2,8% pada Agustus ini dibanding tahun lalu, berdasarkan laporan Kementerian Dalam Negeri. 

Sementara ekonomi macan Asia, China, juga tak terlalu menunjukkan kinerja memuaskan. Pasar perumahan China terancam kolpas dengan pertumbuhan perdagangan yang juga melambat.

Aksi hawkish The Federal Reserve (The Fed) dalam menaikkan suku bunga juga menjadi pemicu ketidakstabilan ini. Lembaga Goldman Sach meramalkan The Fed akan tetap hawkish dengan menaikkan suku bunga 75bp pada November, kenaikan 50bp pada Desember, dan kenaikan 25bp pada Februari 2023 dengan FFR mencapai puncak di angka 4,5-4,75%.

Proyeksi Kenaikan Suku Bunga The Fed

Sumber: Goldman Sach

Negara-negara G20 juga tidak lepas dari dampak turbulensi ekonomi global. Rezim ekonomi utama dunia ini juga akan terdampak akibat adanya perlambatan ekonomi di tahun depan.

Ekonomi negara maju diproyeksikan tumbuh hanya 1,7% pada 2022 dan 1,0% pada 2023. Rata-rata, ini 0,5 poin di bawah periode pra-Covid dan 0,9 persen di bawah rata-rata pra-krisis 2008.

Halaman : 1 2 3
Advertisement
Advertisement