IDXChannel - Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menyatakan, pengelolaan APBN 2025 akan menghadapi tantangan fiskal yang cukup rumit. Setidaknya ada tiga hal mendesak yang membuat ruang fiskal pemerintah sangat sempit.
Tim Analis Kebijakan Ekonomi APINDO Ajib Hamdani mengatakan, hal pertama, jatuh tempo utang tahun 2025 yang mencapai Rp800,33 triliun. Ini sebagai dampak scarring effect pandemi Covid-19.
"APBN tahun 2026 dan 2027 juga akan menghadapi kondisi utang jatuh tempo yang sama. Dan, negara tidak bisa failed dalam membayar utang," kata Tim Analis Kebijakan Ekonomi APINDO Ajib Hamdani dalam keterangannya, Jakarta, Jumat (12/7/2024).
Kedua, adalah beban komitmen program berkelanjutan tentang Ibu Kota Nusantara (IKN), yang akan menyedot keuangan negara. Dengan alokasi pembangunan yang sementara bertumpu dengan kekuatan APBN, pemerintah harus tetap mengalokasikan dana khusus agar ritme pembangunan tetap bisa berjalan dengan baik.
Ketiga, kata Ajib, program populis pemerintah Prabowo Subianto tentang makan bergizi gratis. Dengan alokasi awal ideal di angka mencapai Rp400 triliun, realitas APBN sementara hanya bisa dialokasikan sebesar sebesar Rp71 triliun.
Untuk tahun-tahun selanjutnya, tegas dia, tentunya program ini memerlukan alokasi dana yang semakin besar.
"Dengan struktur beban yang ada, APBN 2025 bahkan sudah dirancang mengalami defisit di kisaran 2,29 persen sampai dengan 2,82 persen dari PDB," katanya.
Selanjutnya perlu dikaji lebih mendalam, apakah fiskal Indonesia mampu menutup seluruh anggaran berjalan yang dibutuhkan? Paling tidak ada tiga hal yang bisa dioptimalkan dalam pengelolaan fiskal ini.
Pertama, tutur Ajib, peningkatan peningkatan penerimaan perpajakan. Kedua, adalah peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Ketiga, adalah peningkatan penerimaan dividen dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Langkah-langkah ini sangat mungkin dilakukan ketika pemerintah menerapkan good corporate governance (GCG) dan political willingness yang konsisten. Menurutnya, harapan selanjutnya, langkah-langkah tersebut bisa menambal defisit fiskal sampai dengan 500 triliun setiap tahun.
"Jadi, narasi defisit fiskal 0 persen sangat mungkin dilakukan. Ini menjadi langkah produktif menuju kemandirian ekonomi, dibandingkan narasi tentang peningkatan rasio utang 50 persen dari PDB," ujarnya.
(YNA)