Menaikkan bunga acuan, sambung Gunawan, berarti memperkecil perbedaan bunga acuan antara BI dengan Bank Sentral AS atau The FED yang saat ini bertengger di angka 4%. Kenaikan bunga acuan tersebut akan lebih banyak memberikan manfaat bagi dana dalam valas dan menghindarkan kita dari tekanan capital outflow.
"Hanya saja lantas apa gunanya fundamental ekonomi yang bagus, namun Rupiah justru tertekan saat ini, hingga harus direspon dengan kenaikan suku bunga acuan," tungkasnya.
Gunawan menuturkan, pertumbuhan ekonomi sebesar 5.7% pada kuartal ketiga seakan tidak mampu meredam animo pelaku pasar untuk lebih memilih memegang Rupiah ketimbang US Dolar. Padahal di banyak negara lain termasuk Amerika Serikat, ekonominya saat ini lebih buruk dibandingkan Indonesia.
"Dari sekian banyak alasan yang mencuat, saya lebih menarik menguliti surplus neraca perdagangan yang seakan tidak mampu menahan pelemahan Rupiah," terangnya.
Sejatinya, lanjut Gunawan, di saat terjadi surplus terjadi, ada pasokan USD yang siap membuat cadangan devisa kian gemuk. Cadangan yang bisa digunakan untuk meredam gejolak Rupiah. Tetapi pengusaha (eksportir) kita atau pemilik USD dalam angka besar belum sepenuhnya mau mengkonversi atau setidaknya tetap menyimpan valasnya di tanah air.