IDXChannel - Kebijakan Zero ODOL (Over Dimension Over Load) yang akan diterapkan pemerintah membuat pengusaha gusar. Selain berdampak kepada pelaku usaha truk, kebijakan tersebut juga akan berimbas ke konsumen dengan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (APTRINDO), Gemilang Tarigan mengatakan, harga beras atau bahan pokok lainnya berpotensi mengalami kenaikan 2 kali lipat jika pemerintah menerapkan kebijakan Zero ODOL
Sebab, biaya logistik akan meningkat ketika terjadi pembatasan kapasitas angkut muatan di jalan raya.
Gemilang mengatakan, saat ini daya angkut Indonesia tergolong lebih rendah. Sehingga jika truk-truk logistik di Tanah Air mau dibatasi terkait kapasitas angkutnya, maka pengusaha harus mengeluarkan biaya lebih untuk mendistribusikan barangnya.
"Kalau diterapkan sekarang, ya kita sudah tahu konsekuensinya, harga Aqua pasti naik 2 kali lipat. (Harga) beras juga sama. Mereka (truk) muat biasanya 7-6 ton, kalau (ikut ketentuan) buku KIR hanya 3 ton," ujar Gemilang, ditulis Minggu (8/3/2025).
Dia mengaku mendukung kebijakan pemerintah menerapkan Zero ODOL. Namun Gemilang menilai, hal ini akan sulit diimplementasikan di lapangan karena daya angkut di Indonesia masih lemah. Bahkan sekali jalan operator truk perlu mengangkut sekitar 8-9 ton.
Jika operator menerapkan standar di bawah itu, maka praktis akan ditolak oleh pengguna jasa dalam hal ini para pengusaha.
Gemilang memberikan gambaran, misalnya untuk komoditas beras idealnya sekali angkut truk bisa memuat sekitar 7-6 ton, apabila ketentuan yang tercantum dalam dokumen KIR hanya boleh 3 ton, maka pelaku usaha harus mengeluarkan ongkos tambahan untuk mengangkut sisanya.
Menurutnya, rendahnya daya angkut Indonesia terjadi akibat ketidakseimbangan antara komoditas yang dibawa dengan ketersediaan jasa angkutan hingga mahalnya biaya pengiriman logistik.
Jumlah truk pengangkut sudah lebih banyak ketimbang komoditas yang diangkut, bahkan masing-masing industri punya jasa angkut sendiri.
Kondisi inilah yang membuat para operator truk bersaing lebih kompetitif untuk mendapatkan pengguna jasa. Melebihi kapasitas muatan dengan penawaran yang lebih efisien dalam sekali angkut menjadi daya tawar menarik bagi pengusaha.
"Maka pemerintah perlu menyesuaikan daya angkut kita, karena kita paling rendah daya angkutnya," kata Gemilang.
"Kita sudah sempat memotong kendaraan kita (menurunkan kapasitas angkut), tetapi justru bermasalah. Kendaraan sudah dipotong panjangnya, masalah pertama kita tidak dapat muatan. Kedua kesulitan mengenai surat menyuratnya," tuturnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Forum Transportasi Jalan dan Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Deddy Herlambang mengatakan, wacana penerapan zero ODOL sejak 2019 yang tidak kunjung terealisasi hingga saat disebabkan karena banyaknya kontrak yang dilakukan oleh pelaku usaha terkait pengiriman logistik. Sehingga memang tidak mudah untuk memutus kontrak yang sudah dibuat oleh pengusaha dengan operator truk.
"Sehingga petanya jelas, di sini ada Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Perdagangan, lalu untuk asosiasi, ada Apindo, Aprindo. Nah dari stakeholder ini tentunya bisa diajak kerja sama menerapkan Zero ODOL, dan kapan kira-kira siap," kata Deddy.
Sebelumnya, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Perindustrian telah mencapai kata sepakat untuk mengimplementasikan kebijakan Zero ODOL di Indonesia. Langkah ini sekaligus membatasi truk modifikasi ilegal yang beroperasi di jalan raya.
(Fiki Ariyanti)