Lebih lanjut, Yusran menilai, ada yang salah dari cara berpikir pemerintah jika mengerek pajak hiburan dengan alasan bahwa sektor hiburan punya risiko yang cukup tinggi, terutama sektor hiburan malam. Sebab risiko berusaha sudah ditentukan diawal sejak penerbitan perizinan berbasis risiko.
"Mindset pemerintah, mereka mencampuradukkan pengendalian risiko dengan pajak. Kita mau menaikkan tax ratio atau mengendalikan investasinya, sementara kita sudah mengenal perizinan berbasis risiko, jadi risiko usaha itu ada di tempat tertentu pemerintah punya kewenangan penuh untuk mencabut atau menerbitkan izin usaha," tegasnya.
Yusran menilai besarnya kenaikan pajak tersebut akan direspons oleh para pelaku usaha untuk menaikkan harga jual barang atau jasa di sektor hiburan yang dibebankan kepada konsumen.
Sehingga menurutnya, ketika produk pariwisata di Indonesia punya harga yang lebih mahal, tentunya sektor pariwisata di Indonesia akan kalah saing dengan negara-negara tetangga yang punya harga lebih kompetitif.
"Kita selalu indikasi pemerintah yang begitu cepat meningkatkan pendapatan lewat pajak. Ini selalu menjadi polemik iklim investasi, pajak hiburan sebelumhya 0-75%, sekarang mulainya 40%," tutur Yusran.
"Kita juga mengingatkan, kalau pemerintah fokus kepada UMKM, fokus kepada pengembangan pariwisata, tentu jangan buru semua diambil pajaknya, ini akan berdampak konsumen," pungkasnya.
(FAY)