IDXChannel - Beberapa pulau kecil masuk dalam daftar jual di situs online jual beli pulau. Salah satunya Pulau Lantigiang yang terletak di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi, yang dijual Rp 900 juta. Sang pembeli sudah menyetorkan uang muka (DP) sebesar Rp 10 juta.
Pulau Lantigiang sendiri dibeli oleh pengusaha asal Selayar, Asdianti Baso. Namun iya membantah bila yang dibeli adalah Pulau, melainkan lahan seluas 4 hektare di atas pulau tersebut seharga Rp 900 juta
Lahan itu dibeli dengan tujuan ingin membangun Water Bungalow. Sebab sebagai pengusaha yang bergerak di bidang pariwisata, dia menyayangkan jika pulau secantik Lantigiang tidak dikembangkan. Terlebih pulau itu memiliki diving spot.
“Saya tidak pernah membeli Pulau Lantigiang, saya membeli hak tanah atas pulau. Jadi bukan sertifikat hak milik karena setahu saya di kawasan itu tidak mengeluarkan sertifikat, jadi saya minta hak pengelolaan untuk membangun resort di kawasan itu," kata Asdianti.
Sementara terkait penjualan pulau itu dikonfirmasi oleh Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Jinato, Nur Aisyah Amnur. Dimana pulau Pulau Lantigiang masuk dalam kawasan Taman Nasional Takabonerate itu jual oleh warga bernama Syamsu Alam kepada Asdianti sebagai pembeli.
Dari Syamsu Alam bahwa Pulau Lantigiang tersebut dikuasai atau ditinggali oleh neneknya dulu. Namun hak yang dimiliki oleh penjual adalah surat keterangan kepemilikan ditangani oleh Sekdes Jinato tahun 2019.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaharuan Agraria Iwan Nurdin mengatakan, pulau tersebeut merupakan balai taman nasional maka diatur oleh Undang-undang (UU) nomor 5 tahun 1990 tentan konservasi Sumber Daya Alam (SDA) hayati. Sehingga menurutnya, pulau tersebut seharusnya berada langsung di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Dengan demikian, tidak dapat dibenarkan jika di atasnya terbit sertifikat hak atas tanah. Apakah hak milik, hak guna bangunan maupun hak pakai,” ujarnya saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Senin (8/2/2021).
Menurut Iwan, jika seseorang maupun badan hukum hendak mengelola sebagian wilayah taman nasional, maka harus mendapatkan izin dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Tentunya dengan syarat pengelolaan tersebut tidak bertentangan dengan pelestarian dan konservasi wilyah
Oleh sebab itu, merupakan langkah tepat jika Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) tidak mengeluarkan hak atas tanah berupa sertifikat. Kar
“Karena itu sudah benar jika BPN tidak berani mengeluarkan hak atas tanah berupa sertifikat,” ucapnya.
Namun lanjut Iwan, pengusaha tersebut bisa saja mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri LHK dalam jangka waktu tertentu. Atau, bisa juga melakukan kerjasam operasional dengan balai taman nasional untuk tujuan wisata alam.
Jika tidak memiliki izin tersebut, maka harus ditertibkan dengan menggunakan pidana UU konservasi tersebut. Sebab, usaha di dalam wilyah taman nasional harus benar benar sesuai dengan kaidah lingkungan hidup dan kelestarian.
“Juga wajib menjadikan masyarakat sekitar terlibat sehingga menjadi bagian utuh dari pelestarian lingkungan,” ucapnya. (RAMA)