Fenomena ini, lanjutnya, menggambarkan gejala currency substitution, yaitu penggunaan mata uang asing dalam berbagai transaksi ekonomi akibat menurunnya kepercayaan terhadap mata uang domestik.
“Currency substitution membuat suatu negara kehilangan identitas nasionalnya dan bahkan membuat kebijakan moneternya menjadi tidak efektif. Bank sentral tidak dapat mempengaruhi jumlah uang beredar karena sebagian besar transaksi menggunakan mata uang asing,” tuturnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, Syarkawi menilai redenominasi dapat menjadi langkah strategis guna mengembalikan kepercayaan publik terhadap rupiah. Ia mencontohkan pengalaman Turkiye yang pada 2005 melakukan redenominasi besar-besaran dengan menghilangkan enam angka nol dari mata uang lamanya tanpa menurunkan daya beli masyarakat.
“Proses yang sama dapat dilakukan oleh Bank Indonesia dengan menghilangkan tiga angka nol dalam mata uang rupiah. Misalnya, Rp1.000 lama menjadi Rp1 baru tanpa mengubah daya belinya,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menegaskan, redenominasi tidak akan memengaruhi nilai tukar atau daya beli masyarakat, melainkan hanya menyederhanakan nilai nominal agar lebih efisien dan mudah digunakan.