sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Resesi atau Tidak Resesi, Anak Muda ‘Sandwich Generation’ Tetap Miskin

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
25/10/2022 10:00 WIB
Untuk menuju Indonesia emas dan pemanfaatan bonus demografi 2045, perlambatan pertumbuhan ekonomi global perlu diwaspadai terutama bagi para generasi sandwich.
Resesi atau Tidak Resesi, Anak Muda ‘Sandwich Generation’ Tetap Miskin. (Foto: MNC Media)
Resesi atau Tidak Resesi, Anak Muda ‘Sandwich Generation’ Tetap Miskin. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Terdapat satu kelompok masyarakat di Indonesia yang disebut sebagai sandwich generation atau generasi roti lapis.

Istilah ini mendadak populer di kalangan masyarakat terutama anak muda, karena merasa terhubung dengan kondisi serupa.

Mengutip Investopedia, generasi sandwich mengacu pada individu yang ditekan untuk merawat orang tua yang menua dan anak-anak yang sedang tumbuh, terutama secara finansial.

Generasi sandwich dinamai demikian karena mereka digambarkan dalam kondisi "terjepit" antara kewajiban untuk merawat orang tua mereka yang lanjut usia yang mungkin sakit atau membutuhkan dukungan finansial.

Di sisi lain generasi ini juga memiliki kewajiban terhadap diri sendiri dan keluarganya, terlebih anak yang juga membutuhkan dukungan keuangan, fisik, dan dukungan emosional.

Sebuah studi dari Pew Research Center memperkirakan bahwa sekitar satu dari tujuh orang Amerika antara usia 40 dan 60 secara bersamaan memberikan beberapa bantuan keuangan kepada anak dan orang tua.

Menurut Pew Research, dengan tekanan tambahan untuk mengelola karier dan masalah pribadinya sendiri, serta kebutuhan untuk masa pensiunnya sendiri, individu-individu dari generasi sandwich berada di bawah tekanan finansial dan emosional yang signifikan.

Sekitar 23% orang dewasa AS menjadi bagian dari apa yang disebut ‘generasi sandwich menurut survei Pew Research Center yang dilakukan pada Oktober 2021.

Para generasi sandwich yang bekerja penuh waktu juga harus menghabiskan sekitar tiga jam setiap hari untuk merawat orang tua dan anak-anak mereka di luar jam kerja. Beban keuangan juga menjadi signifkan di mana generasi ini kehilangan lebih dari USD10.000 untuk merawat anak-anak dan orang tua mereka. Estimasi ini merupakan akumulasi dari kerugian waktu, izin kerja, hingga kehilangan promosi di tempat kerja.

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), setiap negara di dunia mengalami pertumbuhan baik dalam ukuran maupun proporsi penduduk lanjut usia. 

Pada 2030, 1 dari 6 orang di dunia akan berusia 60 tahun atau lebih. Pada saat ini pangsa penduduk berusia 60 tahun ke atas akan meningkat dari 1 miliar pada tahun 2020 menjadi 1,4 miliar di tahun yang sama.

Pada 2050, penduduk dunia yang berusia 60 tahun ke atas akan berlipat ganda menjadi sekitar 2,1 miliar. Sedangkan jumlah orang berusia 80 tahun atau lebih diperkirakan tiga kali lipat antara tahun 2020 dan 2050 mencapai 426 juta.

Adapun pergeseran dalam distribusi populasi suatu negara menuju usia yang lebih tua atau penuaan populasi dimulai di negara-negara berpenghasilan tinggi. Sebut saja Jepang di mana 30% dari populasi sudah berusia di atas 60 tahun).

Pada tahun 2050, dua pertiga dari populasi dunia di atas 60 tahun akan tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Di Indonesia, kondisinya sepertinya tak jauh beda. Meskipun Indonesia digadang akan mendapatkan bonus demografi pada 2045.

Bonus demografi adalah jumlah penduduk Indonesia di mana sekitar 70% merupakan usia produktif (15-64 tahun), sedangkan sisanya 30% merupakan penduduk yang tidak produktif (usia di bawah 14 tahun dan di atas 65 tahun) pada periode tahun 2020-2045. 

Indonesia Dibayangi Beban Generasi Sandwich

Dalam survei yang dilakukan Litbang Kompas pada 9 hingga 11 Agustus 2022, tercatat 7 dari 10 responden menyatakan bahwa mereka adalah generasi sandwich. Adapun survei ini disebut melibatkan 504 responden dari 34 provinsi.

Ditinjau dari kelompok generasinya, responden dari generasi Y atau milenial pada rentang usia 24 hingga 39 tahun adalah yang paling banyak menjadi generasi roti lapis ini.

Sejumlah 4 dari 10 responden generasi milenial mengaku, memberi bantuan ekonomi kepada orang tua atau mertua, saudara kandung, bahkan kerabat mereka. Sementara, kelompok usia terbanyak kedua yang mengalami kondisi serupa adalah generasi X dengan rentang usia 40 hingga 55 tahun.

Kalau kita melihat ke depan, jumlah penduduk lansia Indonesia pada 2045 diproyeksikan akan mencapai seperlima dari jumlah penduduk.

Kondisi ini bisa dibilang mengkhawatirkan jika generasi sandwich terus dibiarkan memiliki beban ganda ekonomi. (Lihat grafik di bawah ini)

Penambahan penduduk lanjut usia juga berpengaruh pada angka rasio ketergantungan sebagai perbandingan antara penduduk usia produktif dengan penduduk usia tidak produktif.

Untuk melihat tingkat kemandirian penduduk lansia dan beban ekonomi penduduk usia produktif terhadap lansia, digunakan indikator rasio ketergantungan lansia.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), rasio ketergantungan penduduk lanjut usia atau lansia di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya.

Dalam hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada Maret 2021 menemukan, rasio ketergantungan lansia di RI sebesar 16,76 pada 2021.

Rasio ketergantungan ini meningkat 1,22 poin dari tahun sebelumnya sebesar 15,54. Rasio ketergantungan lansia juga naik 2,74 poin dalam lima tahun terakhir di mana tahun 2017 angkanya hanya sebesar 14,02. (Lihat grafik di bawah ini)

Temuan tersebut mengindikasikan 100 orang penduduk usia produktif atau usia sekitar 15 hingga 59 tahun harus menanggung setidaknya 17 orang penduduk lanjut usia.

Rasio ketergantungan lansia merupakan perbandingan antara penduduk usia produktif dengan penduduk usia tidak produktif.

Dengan bertambahnya usia lanjut sebagai kelompok yang kurang produktif, maka beban yang harus ditanggung penduduk usia produktif untuk membiayai kehidupan penduduk yang tidak produktif secara otomatis akan meningkat.

Menurut BPS, peningkatan jumlah penduduk lansia menimbulkan konsekuensi yang kompleks. Berbagai tantangan yang diakibatkan penuaan penduduk telah mencakup hampir setiap aspek kehidupan.

Peningkatan penduduk lanjut usia berbanding lurus dengan peningkatan kebutuhan, termasuk perawatan, yang pada akhirnya menjadi beban ekonomi penduduk usia produktif dalam rangka pembiayaan penduduk lansia.

Untuk itu perlu adanya peningkatan sinergi dalam pelaksanaan program bagi lansia yang dapat mengurangi beban ketergantungan pada lansia pada kelompok usia produktif.

Hal ini bertujuan agar lansia tetap sehat, mandiri dan aktif selama mungkin untuk mendorong pertumbuhan ekonomi selama lansia bekerja.

Perlunya Penguatan Bantalan Sosial

Sebagai kelompok penduduk yang memiliki kerentanan sosial ekonomi yang tinggi, lansia dan keluarga generasi sandwich membutuhkan perlindungan sosial yang memadai, baik berupa bantuan sosial maupun jaminan sosial.

Menurut BPS, cakupan perlindungan sosial bagi lansia selama ini masih jauh dari harapan, terutama untuk lansia pada kelompok pengeluaran 40 persen terbawah.

Pada tahun 2021, sekitar satu dari empat rumah tangga lansia atau sekitar 24,20% pernah menerima program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Sebanyak 11,86% rumah tangga lansia tercatat sebagai penerima program keluarga harapan (PKH) dan 15,01% yang memiliki Kartu Perlindungan Sosial atau Kartu Kesejahteraan Sosial (KPS/KKS).

Sekitar tujuh dari sepuluh lansia atau sekitar 70,96 % memiliki jaminan kesehatan nasional (JKN) dan sekitar satu dari sepuluh lansia atau 11,62% yang memiliki jaminan sosial.

Sementara, banyak lansia yang menggantungkan hidup dari anggota keluarga yang masih produktif.

Berdasarkan Survei Kesejahteraan Lansia yang dirilis Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (PERGEMI) pada 29 Mei 2022, selama pandemi Covid19, mayoritas responden lansia atau sekitar atau 34,8% mendapat uang dari anak atau anggota keluarga lainnya yang bekerja.

Kemudian 33,8% lansia menyatakan mereka masih bekerja informal atau serabutan untuk mendapat penghasilan.

Ada pula 20,7% lansia yang memenuhi kebutuhan keuangannya dari dana pensiun, 9,6% dari aset yang mereka miliki seperti kontrakan, kebun, atau rumah, dan 8,2% dari berwirausaha.

Dalam survei yang dirilis bertepatan dengan Hari Lansia Sedunia ini, hanya sedikit lansia yang memenuhi kebutuhan keuangannya dari bantuan pemerintah ataupun asuransi hari tua.

Survei ini dilaksanakan pada 9–22 Mei 2022 dengan melibatkan 816 responden yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Adapun responden terdiri dari 57,2% perempuan dan 42,8% laki-laki.

Sepertinya, pemerintah harus mulai serius dalam merancang kebijakan terkait generasi sandwich ini.

Waspada Resesi Tahun Depan bagi Generasi Sandwich

Berdasarkan data BPS, jumlah angkatan kerja Indonesia mencapai 144,01 juta jiwa hingga Februari 2022. Angkatan kerja terbesar berada di kelompok umur 25-29 tahun, yakni mencapai 17,18 juta jiwa.

Kemudian, kelompok umur 30-34 tahun sebanyak 16,89 juta jiwa. Selanjutnya, kelompok umur 35-39 tahun sebanyak 16,78 juta jiwa. Jumlah tersebut mencapai 69,06% dari total penduduk usia kerja yang berjumlah 208,54 juta jiwa.

Sementara, menurut penelitian OECD, pada 2045 ekonomi Indonesia akan mencapai USD8,89 triliun atau atau naik hampir tiga kali lipat dibanding tahun 2019 dan menjadi ekonomi terbesar ke-4 di dunia. (Lihat grafik di bawah ini)

Prediksi tersebut dilatarbelakangi proyeksi bahwa pada tahun 2030-2040, Indonesia akan mengalami bonus demografi. Jumlah penduduk Indonesia usia produktif akan mencapai 64 persen dari total penduduk sekitar 297 juta jiwa.

Beban ekonomi yang besar tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi bagi generasi sandwich. Terlebih di tengah ‘ramalan’ perlambatan ekonomi global di tahun depan.

Sebelumnya, beberapa lembaga internasional memang meramalkan bahwa kondisi ekonomi global di tahun depan akan muram, ditandai dengan melambatnya pertumbuhan produk domestik bruto (PDB).

Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan pertumbuhan global melambat dari perkiraan 6,1% pada 2021 menjadi 3,6% pada 2022 dan 2023. Lebih rendah 0,8 dan 0,2 poin untuk 2022 dan 2023 dibandingkan proyeksi pada Januari 2022.

Menurut Bank Dunia, pertumbuhan PDB global akan melambat menjadi 0,5% pada tahun 2023 di mana kondisi ini akan memenuhi definisi teknis resesi global.

Lembaga Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahunan hanya 2,2% pada 2023.

Dibandingkan dengan perkiraan OECD dari Desember 2021, sebelum agresi Rusia terhadap Ukraina, PDB global saat ini diproyeksikan menjadi setidaknya USD2,8 triliun lebih rendah pada tahun 2023.

Dampak dari perlambatan ekonomi ini dikhawatirkan akan berdampak pada potensi pemutusan hubungan kerja hingga harga kebutuhan pokok yang meroket akibat adanya inflasi.

Sementara PDB riil RI sendiri diproyeksikan masih akan tumbuh stabil di angka 5% hingga 2027 nanti. (Lihat tabel di bawah ini)

Proyeksi Pertumbuhan PDB Riil Indonesia Hingga 2027

Sumber: IMF

Peluang ini sekaligus menjadi tantangan bagi generasi muda Tanah Air sebagai motor penggerak utama ekonomi RI. Di tengah berbagai revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi, persoalan generasi sandwich ini harus segera dicari solusi agar tidak menjadi bom waktu bagi Indonesia.

Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat meramalkan anak muda RI untuk membeli rumah saja akan kesulitan. Apalagi, bagi generasi sandwich yang masih harus membiayai keluarga dan menanggung beban ekonomi ganda. (ADF)

Halaman : 1 2 3
Advertisement
Advertisement