"Ini terjadi karena hanya tersedia dua smelter untuk mengolah bijih nikel sebelum larangan ekspor pertama diterapkan. Industri hulu nikel mengalami kesulitan pada saat itu hingga pelonggaran larangan ekspor diterapkan pada tahun 2017 karena masih rendahnya investasi hilir smelter baru dan melebarnya defisit perdagangan. Setelah pulih secara bertahap, produsen bijih nikel harus menghadapi penerapan larangan ekspor bijih nikel pada tahun 2020; membuat produksi yang lebih rendah tak terelakkan," papar Riefky.
Dia menyebut, penurunan produksi bijih nikel pada tahun 2020 jauh berbeda dengan rata-rata pertumbuhan tahunan sebesar 65% sepanjang tahun 2017-2021.
Keempat, imbas dari penurunan produksi juga turut menyumbang penurunan penerimaan negara dari sektor pertambangan, dari Rp44,920 triliun pada 2019 menjadi hanya Rp34,650 triliun pada 2020. Penerimaan dari sektor pertambangan terkontraksi meski tarif royalti yang diterapkan pada produksi tambang nikel naik dua kali lipat sejak 2020.
"Tidak hanya menurunkan pendapatan negara, larangan ekspor bijih nikel dalam jangka pendek juga merugikan kegiatan pertambangan. Karena penambang terpaksa menjual bijih ke smelter domestik dengan harga yang diatur oleh pemerintah, mereka membukukan kerugian karena harga domestik yang lebih rendah dibandingkan dengan tren meroketnya harga pasar internasional selama periode 2020-2022," ucap Riefky.