Dampak terakhir berasal dari perspektif perdagangan internasional. Larangan ekspor memperbesar risiko pembalasan dari mitra dagang, mulai dari negara yang dulunya mengandalkan bijih nikel Indonesia hingga non-importir nikel dari Indonesia.
"Baru-baru ini, Uni Eropa telah mengajukan sengketa atas kebijakan larangan ekspor Indonesia, yang dianggap melanggar praktik perdagangan yang telah disepakati di WTO," imbuhnya.
Meskipun Uni Eropa tidak secara langsung mengimpor bijih nikel dari Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir, lanjut dia, mereka khawatir potensi terjadinya volatilitas harga nikel global yang berasal dari guncangan pasokan nikel secara mendadak yang kemudian juga dapat menurunkan produksi berbagai sektor hilir yang menggunakan nikel sebagai bahan baku, khususnya industri baja.
Sebagai produsen bijih nikel terbesar dengan cadangan yang melimpah, kebijakan perdagangan yang diterapkan Indonesia dapat menyebabkan pergeseran rantai pasok global yang signifikan. Meski demikian, jumlah nikel yang ditambang untuk memenuhi permintaan dunia masih sangat tersedia.
"Dengan absennya Indonesia di pasar global selama 2020-2022, permintaan bijih nikel telah dialihkan ke eksportir lain, termasuk Filipina, Kaledonia Baru, dan penambang baru lainnya," pungkas Riefky.
(YNA)