IDXChannel—Sejarah Freeport di Indonesia menarik untuk dikupas. Perusahaan yang mengelola tambang emas terbesar ketiga di dunia itu mulai melirik potensi pertambangan di Papua pada tahun 1950an.
Dilansir dari ptfi.co.id (12/12), penemuan potensi pertambangan di Puncak Jaya sendiri sebenarnya terjadi pada 1936. Adalah A. H. Colijin, F. J. Wissel, dan Geolog Jean-Jacques Dozy yang mendaki gunung Jayawijaya saat itu.
Dozy mencatatkan penemuan batu hitam kehijauan, dan berupaya menakar deposit emas dan tembaga di sana. Ia juga yang melaporkan temuan Erstberg (bahasa Belanda dari ‘satu gunung’) ke perusahaanya, yakni Nederlandsche Nieuw Guninea Petroleum Maatschappij.
Kemudian pada 1959, informasi tentang potensi sumber emas di Papua yang ditemukan oleh Belanda, diberitakan oleh New York Times. Berita itu sampai di telinga geolog sekaligus Vice President Freeport Minerals Co. Forbes Wilson.
Wilson akhirnya berhasil meyakinkan perusahaan untuk mengawal ekspedisi yang bertujuan untuk mengeksplorasi situs Ertsberg. Eksplorasi itu dimulai pada 1960, berlangsung selama enam minggu.
Eksplorasi itu membuktikan keberadaan cadangan tembaga. Lalu bagaimana akhirnya Freeport mencatatkan sejarahnya di Indonesia?
Sejarah Freeport di Indonesia
Setelah ekspedisi 1960 itu, tiga tahun sesudahnya situs pertambangan yang telah ditemukan itu jatuh dalam penguasaan pemerintah Indonesia yang saat itu dipimpin oleh Presiden Soeharto.
Pada periode itu pula, pemerintah tengah mendorong peningkatan investasi asing untuk masuk ke Indonesia. Kemudian pada 1967, Freeport menandatangani Kontrak Karya I untuk masa operasi di Papua selama 30 tahun.
Kontrak itu merupakan salah satu pionir dalam penanaman modal asing pertama di Indonesia. Freeport kemudian membangun fasilitas pertambangan di situs tersebut, biaya pembangunan dilaporkan mencapai USD175 juta, melambung 100% dari budget awal yang direncanakan, yakni USD55 juta.
Di situs tersebut Freeport membangun jalan dan jalur pipa sepanjang 116 Km, sekaligus juga membangun pelabuhan, area landasan pesawat, pembangkit listrik, dan kota kecil yang kini disebut Tembagapura. Fasilitas itu terbangun 4.100 meter di atas laut.
Produksi pertambangan Freeport dimulai pada tahun 1970an. Pada masa-masa itu, tiap satu ton konsentrat kering mengandung 317 Kg tembaga, 30 gram emas, dan 30 gram perak.
Freeport terus menjalankan operasinya di situs tersebut selama beberapa tahun. Hingga pada 1980an, perusahaan menemukan cadangan senilai USD40 miliar di situs yang kini disebut Grasberg (bahasa Belanda dari ‘gunung rerumputan’).
Grasgberg berlokasi tak jauh dari Erstberg, yakni hanya berjarak tiga kilometer. Jalan menuju Garsberg membutuhkan pembangunan dengan biaya USD2 juta, dibangun oleh Ilyas Hamid.