IDXChannel - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Azizah Fauzi menyoroti serapan beras Bulog yang belum maksimal. Menurut dia, salah satu penyebabnya karena kurang bersaingnya besaran Harga Pokok Penjualan (HPP).
“Bulog sebaiknya tidak bergantung pada HPP dalam menyerap beras. Upaya peningkatan daya saing petani, seperti adopsi teknologi dan modernisasi pertanian lewat investasi perlu ditingkatkan untuk memastikan gabah yang dihasilkan berkualitas baik,” jelas Azizah, Rabu (5/10/2022).
Dia juga menilai, peningkatan daya saing petani juga dapat memunculkan efisiensi dalam produksi beras dan menekan terbuangnya hasil panen pascaproduksi.
Oleh karena itu, Azizah menyebut, pemerintah perlu mengevaluasi besaran HPP dengan melihat realitanya, apakah besaran masih sesuai dengan keadaan. Sebab, selama ini HPP selalu lebih rendah daripada harga yang ditentukan oleh tengkulak.
Kemudian, hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah kurang efisiennya proses produksi sehingga harga beras domestik mahal.
Namun, dalam jangka panjang, lemahnya penyerapan beras Bulog ini lagi-lagi berpotensi terjadi karena harga di tahun mendatang pasti akan berbeda dan perlu pembaruan berkala.
“Ada faktor-faktor yang mengakibatkan adanya perubahan harga seperti inflasi, biaya transportasi, dan perubahan margin keuntungan petani yang meningkat dari tahun ke tahun. Kondisi dunia juga menyebabkan kenaikan harga gas yang berdampak pada harga pupuk, belum lagi harga bahan bakar yang juga meningkat” tambahnya.
Harga pembelian beras oleh Bulog kini berada di Rp8.800 per kilogram. Sementara itu, data Food Monitor CIPS menunjukkan harga beras kualitas medium di Indonesia sendiri sudah sejak lama konsisten lebih tinggi daripada harga beras internasional.
Harga domestik stabil sepanjang tahun 2021, berkisar antara Rp 11.450 hingga Rp 11.650 (USD 0,84) per kilogram. Meski demikian, harga grosir beras kualitas menengah lebih tinggi dari rata-rata harga internasional sebesar 89,74%.
Kehadiran pelaku swasta dalam penyerapan beras dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan terkait penyerapan beras. Kehadiran swasta dapat memunculkan kompetisi yang akan mendorong adanya perbaikan kualitas.
Menurut Azizah, penguasaan teknologi oleh pihak swasta seharusnya bisa mengingatkan urgensi investasi pada sektor pertanian, terutama pada komoditas-komoditas pokok. Penelitian CIPS mencatat, investasi pertanian di Indonesia masih didominasi oleh kelapa sawit.
Sambungnya, modernisasi lewat penggunaan teknologi dapat dilakukan melalui investasi pada sektor pertanian. Selain mendapatkan sumber daya untuk penggunaan alat-alat yang lebih modern, proses transfer teknologi juga akan mengembangkan kapasitas petani-peternak.
”Pemerintah perlu mewaspadai naiknya harga beberapa komoditas pangan. Pergerakan harga seharusnya sudah bisa diwaspadai sejak adanya kenaikan untuk mencegah terjadi peningkatan yang tidak bisa dijangkau oleh masyarakat. Selain memastikan kelancaran perdagangan pangan, fluktuasi harga bisa dicegah dengan membuat rantai distribusi pangan menjadi lebih efisien,” jelasnya.
Azizah juga mengingatkan pentingnya melihat dan mengevaluasi beberapa tantangan, seperti perubahan iklim dan transportasi, dan memitigasi dampaknya pada produksi beras.
(NDA)