"Ketika inflasi tinggi, orang akan rem investasi kemudian kebutuhan migas akan menurun, itu membuat harga menjadi turun. Ketika harga turun, OPEC kurangi produksi, harga bisa naik lagi," jelasnya.
Selanjutnya, produksi Amerika Serikat (AS) sangat berperan terhadap pasokan migas dunia harus dicermati untuk menyeimbangkan kebijakan OPEC+. Lalu, kebutuhan konstruksi China yang sempat tertahan karena pandemi, akan semakin tinggi.
"Kemudian ekspor minyak Rusia yang beberapa saat ini kemungkinan akan ada ancaman keluar tanggal 5 Desember, apakah ekspor terhambat dengan kebijakan itu," tutur Dwi.
Dia melanjutkan, kondisi lain yaitu reaksi Rusia terhadap sanksi pembatasan harga minyak (price cap) dari negara maju, konflik antara Iran dan AS, dan penggunaan energi nuklir juga akan menyulitkan prediksi harga minyak tahun depan.
Dwi memaparkan, kebijakan perusahaan migas global terhadap alokasi keuntungan yang diperoleh dari kenaikan harga minyak juga akan berpengaruh. Dia berkata, investasi dari keuntungan yang diperoleh ke hulu migas hanya 27 persen.