Tak hanya itu, harga minyak pun tercatat menurun dari yang sebelumnya mencapai USD126 per barel, juga harga CPO yang menjadi komoditas unggulan Indonesia juga turun drastis dalam satu bulan setengah terakhir. Harga kedelai meski turun, masih bergejolak. Demikian pula harga komoditas jagung yang sebelumnya sempat menurun, kini merambat naik kembali.
"Gejolak geopolitik ini sudah mengganggu sisi pasokan dan distribusi, karena menyebabkan harga komoditas menjadi tinggi dan gampang sekali bergejolak. Tingginya harga-harga komoditas ini kemudian juga memicu tingginya inflasi di berbagai negara,," ucap Sri.
Dia mencontohkan, di Inggris telah diumumkan inflasinya menembus angka 10%, dan bahkan diprediksi akan tinggi lagi dalam beberapa saat. Pasalnya, polemik di Inggris ini mendorong digantinya Menteri Keuangan Inggris dan bahkan Perdana Menterinya turun jabatan.
"Ini menandakan bahwa yang terjadi baik dari sisi ekonomi dan keuangan telah berimbas pada kondisi politik," tambah Sri.
Tak hanya itu saja, dia mewaspadai Bank Sentral AS The Federal Reserve (The Fed) yang semakin agresif menaikkan suku bunganya merespons tingginya inflasi AS di 8,2%. Bahkan, diperkirakan hingga akhir tahun, angka suku bunganya bisa mencapai 4,5%. Tindakan ini tentunya akan berdampak terhadap seluruh dunia.
Gejolak inflasi juga sudah tampak di Eropa dengan inflasi yang sudah mencapai level 10, terutama di harga energi yang kemudian memicu gejolak dan tekanan sosial. Negara-negara emerging markets juga masih mengalami inflasi, misal Brazil 8,7%, Meksiko 8,7%, India 7%, dan Indonesia 6%.
"Maka dari itu perlu respons kebijakan moneter untuk menstabilkan harga, yaitu dengan menaikkan suku bunga dan menetapkan likuiditas. Outlook perekonomian global menjadi melemah seiring kenaikan harga dan pengetatan kebijakan moneter," ujar Sri.
(FRI)