"Nah kalau stabilisasi orang bayangannya adalah dari sisi keamanan, pertahanan, namun juga bisa dari sisi ekonomi. Ekonomi bisa dihadapkan pada berbagai guncangan yang bisa mengancam stabilitas, umpamanya seperti yang terjadi pada tahun 2020 yaitu pandemi, tiba-tiba ada virus COVID-19 yang membuat aktivitas ekonomi anjlok, itu mengancam stabilitas ekonomi, kesehatan, dan juga bisa menjadi social-politic," jelas Sri.
Dia menyebutkan, di momen seperti itulah APBN maju sebagai instrumen untuk meng-counter ancaman stabilitas. Maka di saat seperti itu, APBN disebut counter-cyclical, karena pandemi, siklus ekonomi pun anjlok.
"Orang mau ke sekolah, orang mau bekerja, orang mau ke masjid, ke gereja, ke mall, mau ke airport, semuanya berhenti, makanya ekonominya terjun payung. Di situlah APBN menyangga jatuhnya, dicounter supaya tidak terlalu dalam dan bisa pulih kembali, itu yang kita sebutkan counter-cyclical di tahun 2020, 2021, dan di 2022 ini, desain APBN adalah counter-cyclical," paparnya.
Ketika pandemi dikatakan akan selesai menurut World Health Organization (WHO), muncul krisis baru yaitu kenaikan harga pangan, energi, dan tekanan geopolitik yang meningkat, yang menimbulkan disrupsi supply secara global. Di situ, terjadi shock, harga pangan dan energi melonjak sangat tinggi.
"Batubara yang biasanya seharga USD70 dan 80 per ton kini menjadi USD400 per ton, CPO yang tadinya USD700 naik menjadi USD1.700, lebih dari 2 kali lipat, belum harga minyak yang tadinya USD60 per barel menjadi USD105, dan harga-harga lain seperti gandum, nikel, dan yang lainnya naik. Ketika harga komoditas melonjak tinggi, pastinya inflasi juga sangat tinggi," ungkap Sri.