Namun, untuk bahan pangan utama seperti beras, swasembada menjadi program pertanian yang baik untuk menyediakan ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup serta menjamin mutu bahan pangan yang baik dan mengandung nilai gizi yang tinggi.
"Indonesia memang berhasil mempertahankan swasembada beras dan jagung setidaknya dalam lima tahun terakhir, di mana impor hanya menyumbang sangat kecil dari kebutuhan domestik. Namun, produktivitas tanaman pangan cenderung stagnan dalam periode yang sama," kata Aditya.
Selama masa swasembada beras, ia mencermati produksi beras Indonesia memang berlebih berkat intensifikasi dan perluasan lahan. Namun, itu dicapai dengan upaya panjang dan pembiayaan besar. Penekanan pada kuantitas juga mengakibatkan rendahnya kualitas beras.
Selain swasembada, menurut Aditya, ketersediaan pangan yang terjangkau juga dapat dicapai dengan kombinasi produksi domestik dan impor atau dengan meningkatkan pendapatan rakyat untuk mendorong daya beli.
"Impor pangan dapat dilakukan untuk memenuhi kekurangan pasokan antar masa panen atau ketika harga meningkat. Kebijakan perdagangan terbuka untuk pangan dengan demikian akan memungkinkan masyarakat memiliki akses kepada pangan bergizi dengan harga terjangkau," bebernya.
Penelitian CIPS juga menemukan bahwa secara umum, biaya produksi bahan pangan utama lebih tinggi dibandingkan di beberapa negara pengekspor komoditas yang sama, terutama karena mekanisme produksi dan sistem distribusi yang kurang efisien di Indonesia.
Tingginya ongkos produksi dapat diatasi melalui investasi pertanian yang berkelanjutan, yang dapat mendorong modernisasi dan transfer teknologi.
“Sistem pangan Indonesia masih dihadapkan pada berbagai masalah, seperti tingginya ongkos produksi, belum efisiennya proses produksi dan panjangnya rantai distribusi, dan kesemuanya berdampak pada harga," ujar Aditya.