“Masa energi terbarukan sudah menjadi suatu keharusan. Dalam RUU EBT ada semacam insentif pengembangan EBT dan disinsentif bagi pengembangan energi yang masih menyumbang karbon terbesar,” jelasnya.
Sementara itu, Anggota Dewan Energi Nasional Herman Darnel Ibrahim mewanti wanti agar implementasi dekarbonisasi sistem energi perlu memitigasi risiko ekonomi, serta menjaga ketahanan energi nasional, khususnya untuk menjaga harga energi tetap terjangkau.
Selain itu, lanjut dia, menciptakan level playing field antara energi terbarukan dan energi fosil juga diperlukan. Seperti misalnya dengan memanfaatkan instrumen pajak karbon.
Menyinggung pendanaan yang diperlukan untuk mewujudkan netral karbon dengan energi terbarukan yang cenderung tinggi, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Febrio N. Kacaribu membandingkan bahwa setidaknya butuh Rp 3500 triliun untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) di tahun 2030.
“APBN kita hanya 40% dari kebutuhan itu maka jelas ini harus melibatkan pemda, swasta, dan dukungan internasional,” ujarnya.