Selain itu klaim bahwa utang aman karena tenornya jangka panjang menurutdia tidak berkaca pada krisis utang di negara negara lain dimana utang jangka panjang bukan jaminan risiko defaultnya rendah.
"Kalau utang jangka panjang bertambah tapi kemampuan bayar nya rendah default risk tetap besar. Itu kenapa pada saat tekanan eksternal naik, credit default swap utang Indonesia ikut naik ke level 90,3 bulan Oktober, jauh lebih tinggi dibanding 61,4 per Februari 2020," tambahnya.
Persepsi investor masih menganggap Indonesia memiliki risiko tinggi dibandingkan peers sehingga meminta imbal hasil yang tinggi. Surat utang pemerintah Indonesia tercatat memiliki imbal hasil sebesar 6,05% dengan inflasi 1,66%. artinya real rate of return dari investor mencapai 4,39%.
"Filipina saja memiliki CDS hanya 5,7 dengan tingkat imbal hasil 5,17% dan inflasi sebesar 4,8%. Real rate of return atau keuntungan riil surat utang pemerintah Filipina hanya 0,37%. Filipina kalah menarik karena pemerintahnya tidak seagresif Indonesia dalam berutang," pungkas Bhima. (TYO)