Yusuf menjelaskan, perhitungan ambang batas rasio hutang tersebut dinilai kurang tepat, karena rasio terebut digunakan untuk mengukur negara-negara di Eropa yang tentu memiliki struktur ekonomi yang berbeda, khususnya dengan Indonesia.
"Menurut saya angka rasio utang yang saat ini dikisaran 40 persen mau tidak mau mendorong pemerintah harus lebih hati-hati, lebih apa menggunakan utang untuk yang hal-hal yang sifatnya produktif dan juga menjaga ya proporsi utang untuk berkelanjutan khususnya fiskal dalam jangka menengah dan panjang," sambungnya.
Menurut data Bank Dunia, rasio utang terhadap PDB di atas 40 persen terakhir kali dicapai Indonesia pada tahun 1999 dengan nilai 45,21 persen PDB. Jadi dibandingkan dengan tahun 2021, perlu waktu 22 tahun sebelum posisi ini tercapai kembali.
Peningkatan utang saat ini kemudian harus direspon pemerintah untuk bagaimana cara untuk melunasi nya, menurut Yusuh cara yang sederhana itu dalam jangka menengah dan panjang jika berbicara melunasi utang, salah satu cara yang digunakan dengan menarik pajak.
"kalau kita bicara dari jangka pendek dampak yang kemudian bisa diberikan lebih kepada volatilitas ya, tapi itu juga tergantung dari seberapa besar kepemilikan posri asing kita di surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah, karena kalau kita lebih banyak, tentu nilai tukarnya menjadi lebih tinggi dan ini saya kira biasanya dampaknya lebih kepada pasar keuangan," tuturnya. (RAMA)