Adapun kelas mutu beras premium yang telah ditetapkan antara lain memiliki butir patah maksimal 15 persen, kadar air maksimal 14 persen, derajat sosoh minimal 95 persen, butir menir maksimal 0,5 persen, total butir beras lainnya (butir rusak, butir kapur, butir merah/hitam) maksimal 1 persen, butir gabah dan benda lain harus nihil.
"Apapun alasannya, kalau di packaging dilabeli beras premium, maksimal broken-nya harus 15 persen. Kadar airnya maksimal 14 persen, karena kalau konsumen dapat beras yang kadar airnya di atas 14 persen, itu nanti beras bisa cepat basi, karena berasnya terlalu basah," tutur Arief.
Arief juga menegaskan pentingnya transparansi, khususnya terkait pencampuran beras yang dapat menyesatkan konsumen. Ia menegaskan, yang perlu menjadi perhatian adalah jangan sampai mencampurkan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), yang dijual dengan harga sesuai HET beras medium, lalu menjualnya dengan harga mendekati HET beras premium.
“Misalnya, beras SPHP dengan harga Rp12.500 per kilo (Zona 1), kemudian dicampur dengan beras lain dan dijual seharga Rp14.900 per kilo. Praktik seperti ini tidak dibenarkan. Tidak boleh, karena merugikan masyarakat dan melanggar ketentuan yang berlaku. Ini karena ada subsidi dari negara,” tegas Arief.
(Febrina Ratna Iskana)