IDXChannel - Presiden Tiongkok Xi Jinping telah terpilih kembali sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok (PKT), membuatnya mengamankan masa jabatan ketiga yang belum pernah terjadi sebelumnya sebagai pemimpin negara itu.
Sebuah studi baru-baru yang dilakukan oleh lembaga penelitian LAB45 yang berbasis di Indonesia telah mengindikasikan bahwa pemilihan kembali Xi dapat membawa manfaat ekonomi bagi negara-negara Asia Tenggara, terutama Indonesia. China dan Indonesia memiliki hubungan perdagangan yang kuat di sektor energi, khususnya batu bara, yang tentunya sebagai penghasil utama gas rumah kaca telah menjadi sasaran masyarakat internasional untuk "pentahapan turun".
Namun, Indonesia tidak dapat menutup mata terhadap apa yang saat ini terjadi di China mulai dari protes besar-besaran terhadap kebijakan lockdown pemerintah yang berkepanjangan hingga tindakan represif oleh pasukan keamanan China terhadap warga sipil.
Dilansir melalui Reuters, Selasa (13/12/2022), krisis di China juga dapat semakin meningkatkan sentimen anti-China di Indonesia yang semakin memburuk akhir-akhir ini. Fenomena ini mungkin dapat menciptakan ketidakstabilan dalam politik domestik negara itu, terutama menjelang pemilihan presiden 2024, di mana para ahli telah memperingatkan tentang munculnya kembali politik identitas.
Kebijakan lockdown ketat pemerintah China dalam tiga tahun terakhir telah menempatkan rakyatnya di masa-masa sulit. Subsidi dari pemerintah selama lockdown sangat terbatas. Tingkat pengangguran semakin meningkat. Orang-orang kehilangan pendapatan dan tidak mampu membeli kebutuhan dasar.
Situasi itu diperparah ketika kebakaran terjadi di Urumqi, Xinjiang, menewaskan sepuluh orang. Beberapa media melaporkan bahwa langkah-langkah penguncian COVID-19 telah menghambat upaya penyelamatan. Hal ini memicu protes besar-besaran.
Protes terjadi di berbagai kota di China, dari Beijing, Chengdu, dan Guangzhou, hingga Wuhan, dengan orang-orang berbondong-bondong ke jalan untuk mengkritik pemerintah. Informasi yang beredar di media sosial melaporkan bahwa banyak pengunjuk rasa dicari oleh pasukan keamanan China, meskipun mereka tidak melakukan tindakan kekerasan.
Banyak orang China hanya dapat mengakses informasi dari media yang dikendalikan negara, yang memberikan sedikit informasi tentang protes tersebut. Komunitas China di seluruh dunia juga memprotes tindakan China yang tidak responsif terhadap insiden kebakaran dan kebijakan nol-COVID Presiden Xi.
ISEAS-Yusof Ishak Institute yang berbasis di Singapura melakukan survei yang disebut Proyek Survei Nasional Indonesia pada Juli 2022 terhadap 1.600 responden Indonesia dari berbagai jenis kelamin, usia, wilayah, etnis dan agama. Survei tersebut mengungkapkan bahwa hampir 25,4 persen responden menganggap bahwa kebangkitan China akan berdampak negatif bagi Indonesia.
Hanya 30 persen responden yang percaya bahwa memperkuat hubungan dengan China akan menguntungkan Indonesia, sementara 46 persen berpikir Arab Saudi bisa menjadi mitra yang lebih menjanjikan.
Survei juga menunjukkan bahwa perasaan positif masyarakat terhadap China telah menurun menjadi 66 persen pada tahun 2020 dari 76,7 persen lima tahun lalu. Sebanyak 41,5 persen responden khawatir tentang keterlibatan Indonesia dalam proyek Belt and Road Initiatives (BRI) China. Mereka menilai BRI bisa membuat jebakan utang bagi Indonesia dan negara lain. Krisis di Sri Lanka telah memperkuat persepsi ini.
Sentimen negatif tumbuh tidak hanya terhadap pemerintah Tiongkok tetapi juga terhadap keturunan Tionghoa di Indonesia. Sebanyak 41 persen responden beranggapan bahwa keturunan Tionghoa masih setia kepada Tiongkok.
Oleh karena itu, dampak protes di Tiongkok, dan tanggapan pemerintah terhadapnya, dapat menjadi masalah bagi etnis Tionghoa-Indonesia. Sentimen terhadap keturunan Tionghoa telah lama mengakar di Indonesia.
Politik identitas dimainkan dengan hevily selama pemilihan gubernur Jakarta 2017, di mana mantan gubernur etnis Tionghoa dan Kristen Basuki Tjahaja Purnama – yang dikenal sebagai Ahok – menghadapi oposisi rasis.
Pada Desember 2016, sentimen semacam itu – selain klaim penistaan agama – telah memicu ratusan ribu Muslim konservatif berkumpul di ibu kota Jakarta untuk memprotes Ahok selama kampanye pemilihan.
Politik identitas muncul kembali selama pilpres 2019 karena calon presiden petahana Joko Widodo dikenal sebagai sekutu Ahok, sementara pesaingnya, mantan jenderal Prabowo Subianto, didukung oleh mayoritas kelompok Muslim konservatif.
Jadi politik identitas yang disebabkan oleh sentimen anti-Cina dapat berdampak pada stabilitas politik negara itu. Meskipun hal ini mungkin tidak secara terang-terangan mempengaruhi hubungan China-Indonesia, bagi China, stabilitas politik Indonesia sangat penting dalam hal ekonomi.
Terlepas dari semua ini, di bawah kepemimpinan Presiden Xi, hubungan China-Indonesia semakin kuat. Sebanyak 72 responden menilai China masih menjadi negara penting secara ekonomi bagi Indonesia, khususnya di sektor energi, menurut survei ISEAS-Yusof Ishak Institute.
Pada sidang umum PBB 2020, Presiden Xi mengumumkan kebijakan Karbon Ganda, sebuah komitmen untuk mencapai puncak penggunaan karbon pada tahun 2030 dan menjadi bebas karbon pada tahun 2060.
Namun, untuk menjaga stabilitas energi guna memenuhi kebutuhan dalam negeri sebelum mencapai netralitas karbon, China tetap membutuhkan energi fosil dan mengandalkan batu bara sebagai sumbernya. Indonesia adalah eksportir batubara terbesar di dunia berdasarkan tonase. Ini akan menguntungkan secara ekonomi, terutama karena China melarang impor batu bara dari Australia.
Indonesia telah menjadi pemasok batu bara terbesar di China. Sepanjang 2021, China mengimpor hampir 177 juta ton batu bara, atau 74 persen dari total impor batu baranya, dari Indonesia.
China juga membutuhkan Indonesia sebagai negara sahabat untuk membantu memperluas pengaruh geopolitiknya di Asia. China dapat menawarkan berbagai inisiatif kerja sama, termasuk di bidang ekonomi dan pembangunan.
Hal ini bisa menjadi peluang untuk melayani kepentingan ekonomi nasional Indonesia. Sebagai negara yang ingin memainkan peran yang lebih menonjol dalam urusan global, memiliki kerja sama dan dukungan yang kuat dari China – ekonomi terbesar kedua di dunia – sangat penting, terutama dengan penurunan AS di Asia Tenggara dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, Indonesia perlu mempertimbangkan dan mengantisipasi lingkungan internasional yang semakin tidak menentu, terutama dalam dinamika politik yang berkembang antara China dan AS.
Indonesia harus berhati-hati dalam mengambil posisi dan merespons turbulensi internasional. Kebijakan luar negerinya yang "bebas dan aktif" dapat membantu Indonesia memetakan arah melalui tengah.
(DKH)