Situasi itu diperparah ketika kebakaran terjadi di Urumqi, Xinjiang, menewaskan sepuluh orang. Beberapa media melaporkan bahwa langkah-langkah penguncian COVID-19 telah menghambat upaya penyelamatan. Hal ini memicu protes besar-besaran.
Protes terjadi di berbagai kota di China, dari Beijing, Chengdu, dan Guangzhou, hingga Wuhan, dengan orang-orang berbondong-bondong ke jalan untuk mengkritik pemerintah. Informasi yang beredar di media sosial melaporkan bahwa banyak pengunjuk rasa dicari oleh pasukan keamanan China, meskipun mereka tidak melakukan tindakan kekerasan.
Banyak orang China hanya dapat mengakses informasi dari media yang dikendalikan negara, yang memberikan sedikit informasi tentang protes tersebut. Komunitas China di seluruh dunia juga memprotes tindakan China yang tidak responsif terhadap insiden kebakaran dan kebijakan nol-COVID Presiden Xi.
ISEAS-Yusof Ishak Institute yang berbasis di Singapura melakukan survei yang disebut Proyek Survei Nasional Indonesia pada Juli 2022 terhadap 1.600 responden Indonesia dari berbagai jenis kelamin, usia, wilayah, etnis dan agama. Survei tersebut mengungkapkan bahwa hampir 25,4 persen responden menganggap bahwa kebangkitan China akan berdampak negatif bagi Indonesia.
Hanya 30 persen responden yang percaya bahwa memperkuat hubungan dengan China akan menguntungkan Indonesia, sementara 46 persen berpikir Arab Saudi bisa menjadi mitra yang lebih menjanjikan.
Survei juga menunjukkan bahwa perasaan positif masyarakat terhadap China telah menurun menjadi 66 persen pada tahun 2020 dari 76,7 persen lima tahun lalu. Sebanyak 41,5 persen responden khawatir tentang keterlibatan Indonesia dalam proyek Belt and Road Initiatives (BRI) China. Mereka menilai BRI bisa membuat jebakan utang bagi Indonesia dan negara lain. Krisis di Sri Lanka telah memperkuat persepsi ini.
Sentimen negatif tumbuh tidak hanya terhadap pemerintah Tiongkok tetapi juga terhadap keturunan Tionghoa di Indonesia. Sebanyak 41 persen responden beranggapan bahwa keturunan Tionghoa masih setia kepada Tiongkok.