Ketika memasuki usia 20 tahun, Teuku Markam memutuskan untuk turut dalam perjuangan melawan penjajah Belanda. Ia berperan menjadi penyelundup senjata api dari Singapura ke Pekanbaru. Perjuangan ini dilakukannya hingga selama 10 tahun. Ia pun masuk dalam golongan perwira menengah dan berpangkat Kapten.
Akan tetapi, pada 1957, ia lantas memutuskan keluar dari militer dan terjun menjadi pengusaha. Teuku Markam pun mendirikan sebuah perusahaan bernama PT Karkam yang merupakan singkatan dari Kulit Aceh Raya Kapten Markam. Perusahaan ini dipercaya oleh pemerintah untuk mengelola senjata rampasan perang agar dijadikan dana revolusi.
Teuku Markam menggeluti usaha ini dan memiliki sejumlah aset berupa kapal dan beberapa dok kapal di Palembang, Makassar, Medan, Surabaya, dan Jakarta. Bisnis Teuku Markam ini juga mengimpor mobil Toyota Hardtop dari Jepang, plat baja, besi beton, dan senjata atas persetujuan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) serta Presiden.
Dalam buku Indonesia: The Rise of Capital (2009), Richard Robinson menyebut bahwa perusahaan Karkam milik Teuku Markam berhasil menjadi satu-satunya perusahaan yang memiliki hak eksklusif ekspor karet dari Sumatera Selatan ke Malaysia dan Singapura pada masa konfrontasi antara 1960-1963. PT Karkam juga memegang lisensi proyek besar dari negara yakni impor Nissan Jeep dan Semen Asano dari Jepang.
Bisnis yang dijalankan Teuku Markam ini terbilang sukses kala itu. Perusahaannya bahkan diperkirakan memiliki aset hingga jutaan dollar AS. Tak heran, ia disebut sebagai crazy rich pertama di Indonesia. Dari bisnis itu jugalah, Teuku Markam disebut mampu menyumbangkan 28 kg emas yang menjadi puncak tugu Monas karya arsitek Frederich Silaban.