sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Kisah Armand Hartono: Terapkan Prinsip Leadership Ki Hajar Dewantara, Belajar dari Orangtua

Inspirator editor Kurnia Nadya
27/08/2023 17:31 WIB
Armand Hartono adalah penerus konglomerasi Djarum, ia mempelajari prinsip leadership dari orangtua dan para pendahulunya di perusahaan keluarga.
Kisah Armand Hartono: Terapkan Prinsip Leadership Ki Hajar Dewantara, Belajar dari Orangtua. (Foto: BCA)
Kisah Armand Hartono: Terapkan Prinsip Leadership Ki Hajar Dewantara, Belajar dari Orangtua. (Foto: BCA)

IDXChannel—Masyarakat sudah mengenal Robert Budi Hartono dan Michael Bambang Hartono, dua konglomerat yang mengelola Grup Djarum, di mana salah satu lini bisnisnya—BCA—tercatat sebagai emiten dengan kapitalisasi pasar tertinggi di bursa saham Indonesia. 

Namun sedikit yang mengenal Armand Wahyudi Hartono, putra ketiga Robert Budi Hartono yang kini menjabat sebagai Deputi Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), secara langsung menjadi penerus bisnis keluarganya. 

Jauh sebelum menduduki jabatannya sekarang, Armand terlebih dahulu menjalani pekerjaan sebagai kepala divisi di BCA selama beberapa tahun. Sebelum bergabung dengan BCA pun, bertahun-tahun Armand bekerja di PT Djarum Tbk, juga sebagai kepala divisi. 

Meskipun Armand adalah putra sang pemilik usaha, ia tak lantas mengabaikan pentingnya berproses. Alih-alih langsung menjabat posisi direktur, ia bertahun-tahun bekerja sebagai kepala divisi, tak segan berguru pada orang-orang di atasnya. 

Bagaimana kisah Armand Hartono meniti karier, mempersiapkan dirinya untuk meneruskan bisnis keluarganya? 

Kisah Armand Hartono: Taipan Muda Calon Penerus Bisnis Keluarga 

Armand terlahir pada 20 Mei 1975. Dilansir dari lama resmi BCA, ia mengenyam pendidikan di University of California dan Stanford University. Ia mengantongi gelar Master Science in Engineering Economic-System and Operation Research.

Dalam kanal YouTube Asosiasi Emiten Indonesia, Armand mengisahkan bagaimana awal mula ia terlibat dalam bisnis keluarganya. Sebagai keturunan taipan imigran, di keluarga besarnya Armand adalah generasi ke-9 yang telah berimigrasi ke Indonesia. 

Namun sebagai pebisnis, ia adalah generasi ketiga dalam garis keturunan keluarganya. Seperti yang diketahui, konglomerasi Djarum dimulai saat sang kakek, Oei Wie Gwan membuka bisnis tembakau yang diteruskan oleh Robert Budi Hartono dan Michael Bambang Hartono. 

Begitu lulus kuliah, Armand sempat bekerja di JP Morgan Singapura sebagai analis pada divisi Global Credit Research and Investment Banking. Namun baru setahun ia meniti karier, krisis moneter melanda Asia pada 1998, termasuk Indonesia. 

Armand memutuskan untuk pulang ke Indonesia saat itu. “Kami dididik untuk mandiri. Hidup di mana saja boleh. Kalau mau bekerja di perusahaan keluarga juga boleh, asalkan mampu dan cocok,” tuturnya. 

Saat itu, Armand mengontak PT Djarum untuk bertanya apakah ada lowongan kosong di perusahaan tersebut. Ia pun diminta untuk menganalisa, perbaikan apa yang dibutuhkan Djarum saat itu. 

“Saya jawab, butuhnya pembenahan manusia dulu, budaya kerja. Akhirnya diterima, jadi HRD. Sempat saya berpikir, ‘Ini tidak salah? Saya kan orang kuantitaif,’” lanjut Armand. 

Namun saat ia menjalani tes, rupanya Armand cocok untuk mengisi jabatan Kepala Divisi Human Resources. Di situlah ia mulai terlibat dalam bisnis keluarganya, pertama-tama sebagai kepala divisi yang membenahi kualitas SDM perusahaan. 

Armand bekerja di Djarum pada 1998-2004, terhitung tiga jabatan pernah diampunya di emiten tembakau tersebut, yakni sebagai Head of Human Resources, Deputy Director of Purchasing, dan Finance Director. 

Awal mulanya, Armand tidak terpikir untuk bergabung dengan BCA. Tahun-tahun pertama ia bekerja di Djarum, BCA memang belum diambilalih oleh Hartono. Kepemilikan BCA jatuh ke tangan Djarum secara tak langsung lewat konsorsium Farindo Investment pada 2002. 

Kepemilikan Djarum di struktur saham BCA kian membesar seiring tahun berjalan. Pada 2017, lewat PT Dwimuria Investama Andalan, keluarga Hartono akhirnya menguasai kepemilikan saham BCA dengan persentase 50% lebih. 

Pada 2003, Armand pernah bertemu dengan Presdir BCA Djohan Emir Setijoso, saat itu merupakan awal-awal divestasi BCA setelah Farindo Investment sudah memenangkan tender, dan mendiskusikan potensi bisnis BCA. 

“Ini perusahaan yang sudah publik, yang paling penting produknya berpusat pada manusia. Tapi juga harus dikembangkan, mau dibawa ke mana ini? Lalu beliau bilang, ‘Kamu cocok lho di BCA.’ Wah, ini saya mau di-hijack,” guraunya. 

Setahun kemudian, akhirnya Armand memutuskan untuk bergabung dengan BCA. Awalnya, ia tak berekspektasi apa-apa terhadap perusahaan tersebut. Rupanya, BCA memiliki kompleksitas yang tinggi. 

“Dari tahun 2004, pengalaman saya di BCA itu berkah. Setiap hari belajar dan bertemu dengan teman-teman baru,” kata Armand. 

Armand mengaku banyak belajar soal kepemimpinan dari orangtuanya dan para pimpinan di perusahaan keluarganya, baik itu Djarum ataupun BCA. Ia banyak mendapatkan ilmu teknis dari pendidikannya. Namun pendidikan karakter, ia justru dapatkan dari para orangtua. 

“Menjadi ‘orang’ yang seperti apa? Untuk Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Bagaimana sebagai tim leader diam-diam memberikan dorongan dari belakang, memberi kekuatan ke tim, itu sehari-hari diterapkan orangtua, para pemimpin di Djarum,” lanjutnya. 

Armand mengaku pendidikan karakter yang didapatnya dari kedua orangtuanya, dari pamannya (Michael Bambang Hartono), dan para pimpinan perusahaan, jauh lebih melekat dalam dirinya. 

“Sekolah itu ‘book smart’, ini ‘street smart’. Di BCA pun begitu, banyak pengaruh leadership dari Pak Setijoso, sekarang dari Pak Jahja. Siapa pun yang menjadi orangtua saya, ya, leader saya. Kami tertular, sadar tidak sadar. Tertular ilmunya, kebiasannya. Itu yang menjadikan saya manusia seutuhnya,” jelas Armand. 

Ia tak segan mengakui bahwa dari para pendahulunya, ia mampu tergabung dalam ekosistem perusahaan dengan baik. Saat ditanya soal kebiasaan orang-orang untuk ‘flexing’, atau memamerkan capaian sebagai strategi marketing. 

Armand mengaku hal tersebut tak pernah terlintas dalam pikirannya. “Saya dibesarkan di perusahaan industrialis, consumer goods. Kita harus memamerkan produk-produk kita. Kalau urusan pribadi, yang harus dijaga adalah citra karakter,” 

Sehingga, saat ia ditanya ‘Mau jadi apa, mand? Tujuan hidup mau jadi apa?’ Ia justru kebingungan. Sebab yang kerap ditanya oleh orangtuanya adalah, ‘Kamu mau jadi orang yang seperti apa? Mau hidup seperti apa? Mau bagaimana saat berhubungan dengan orang lain?’ 

Itulah kisah inspiratif taipan muda Armand Hartono, calon penerus BCA yang tak segan belajar dari para pendahulunya untuk memimpin perusahaan. (NKK)

Halaman : 1 2 3 4 5 6
Advertisement
Advertisement