IDXChannel – Siapa sangka tanaman daun kelor yang biasanya digunakan sebagai sayuran biasa dan pagar pembatas kebun bisa membawa sesorang meraih sukses. Di tangan seorang tukang ojek asal Sumba Timur, NTT, daun kelor bisa disulap menjadi bisnis yang menguntungkan.
Namanya Eduardus Seran, ia merupakan perantau dari Kabupaten Malaka. Namun, pertemuannya dengan perempuan asli Sumba Timur menjadikan Eduardus sebagai warga Sumba Timur.
Ia membangun usaha kelornya dari Nol di Temu, Kecamatan Kanatang, Sumba Timur. Hidupnya kini telah berubah dari tukang ojek menjadi pengusaha kelor dengan omzet ratusan juta rupiah.
Bermodal semangat untuk maju, Eduardus yang merupakan lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) pun mulai menggeluti usaha di perantauan. Dia menjadi tukang ojek dan penjual ikan.
Waktu terus berjalan, Eduardus merasa ada tuntutan untuk mencari penghasilan lebih setelah menikah dan dikaruniai seorang putri. Eduardus terus mencari usaha yang bisa menyejahterakan keluarga. Hingga akhirnya pada 2018, dia mengenal usaha daun kelor.
“Saya memulai itu dari tahun 2018. Pada waktu itu ada pencanangan dari bapak Gubernur NTT (Viktor Bungtilu Laiskodat-Red) untuk seluruh desa tanam kelor. Disitu saya melihat bahwa ini peluang. Ada apa dibalik program kelor ini, kata saya dalam hati waktu itu.”
“Pasti ada sesuatu yang besar, bagi kami sebagai seorang wirausaha. Akhirnya saya coba pelajari bagaimana caranya pengolahan Kelor ini. Maka dapatlah Channel YouTube dari guru besar saya pak Dedi Krisnadi dari Dapur Kelor,” kata Eduardus seperti dilansir dari Inews, pada Minggu (11/9/2022).
Eduardus cukup percaya diri ketika diminta wartawan untuk menceritakan kisah suksesnya dalam membangun bisnis kelornya. Ia menjelaskan dari saluran YouTube tersebut ia belajar bagaimana membuat serbuk kelor dalam skala kecil. Setelah itu ia menjualnya dan ternyata laris manis.
“Mungkin juga ada yang beli karena kasihan. Saya terus berjalan tapi dengan satu keyakinan suatu saat akan jadi besar. Ini bukan pengakuan Indonesia atau daerah tapi pengakuan dunia dan telah melewati ribuan kali studi banding terkait kelor untuk penanganan stunting. Dengan pemahaman itu membuat saya tetap konsisten,” jelasnya.
Eduardus dengan keyakinannya, menawarkan produk serbuk kelornya ke Kelurahan Malumbi di Sumba Timur. Eduardus melakukan presentasi dan mendapat sambutan yang ia tidak pernah duga.
Gayung bersambut sehingga ia mendapatkan omzet yang terus berkembang. Pihak Kelurahan Malumbi membeli produknya senilai Rp. 5.000.000. Sebuah nilai uang yang besar bagi Eduardus yang baru banting stir dari tukang ojek dan papalele ikan.
“Istri saya bilang ini peluang. Akhirnya dari satu kelurahan itu saya coba tawarkan ke kelurahan lain. Yang uniknya tidak diundang tapi saya akan hadir. Acara apapun itu saya akan hadir meski tidak diundang untuk menawarkan olahan kelor yang saya punya.”
Kegigihannya itu pun membawanya pada suatu pertemuan di Balai POM terkait UMKM di Sumba Timur. Pada momentum itu, Ketua Dekranasda NTT hadir sebagai Pemateri.
Itulah perjumpaan awalnya dengan Julie Sutrisno Laiskodat. Bermodal nomor kontak Julie Sutrisno Laiskodat, ia telah menyimpan sebuah harapan untuk bisa berkomunikasi dengan istri Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat tersebut.
Waktu terus berjalan dan Eduardus terus bergerak dalam iramanya. Sejalan dengan program pemerintah Provinsi NTT untuk menurunkan angka stunting, Ia sudah membaca peluang itu dengan masuk ke setiap pelosok desa untuk menawarkan kelor sebagai jalan satu satunya dalam penanganan stunting.
Dampak dari usaha kelor selain untuk penanganan stunting juga memiliki dampak luar biasa dalam kehidupan pribadinya. Eduardus dulu yang melarat karena menggantungkan hidupnya pada jasa ojek, kini telah berubah total.
Ia tak lagi gundah gulana karena pemasukan yang seret. Ia tak lagi berteduh di bawah tempat tinggal yang seadanya dan sempit. Ia telah bertransformasi dari yang serba kekurangan menjadi Eduardus yang sukses.
Dengan omzet hasil penjualannya itu Eduardus kini sudah memiliki rumah permanen dan Bahkan sudah memiliki mobil Toyota Rush. Semua itu, kata Eduardus, tidak didapatnya dengan mudah karena dilalui oleh banyak tantangan dan kegagalan.
Bahkan ketika dia telah sukses, Eduardus tetap bergulat dengan tantangan terutama dari sisi proses produksi. “Tapi saya punya persoalan untuk menunjang proses produksi. Kalau bahan baku banyak karena Sumba timur di tempat tinggal saya letaknya dekat pantai apalagi habitatnya 0 sampai dengan 5000 MDPL jadi banyak sekali kelor,” ujarnya.
(FRI/Ridho Hatmanto)