sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Banyak 'Drama' Makro, Taipan RI Masih Tunggu 'Tuah' Sektor Properti

Market news editor Aldo Fernando - Riset
27/10/2022 13:22 WIB
Taipan properti RI tampaknya masih terus bersabar untuk melihat sektor tersebut kembali bersinar terang.
Banyak 'Drama' Makro, Taipan RI Masih Tunggu 'Tuah' Sektor Properti. (Foto: MNC Media)
Banyak 'Drama' Makro, Taipan RI Masih Tunggu 'Tuah' Sektor Properti. (Foto: MNC Media)

IDXChannelTaipan properti RI tampaknya masih terus bersabar untuk melihat sektor tersebut kembali bersinar terang. Namun, sejumlah analis menilai, sektor ini masih memiliki ‘saving grace’ alias aspek penyelamat.

Sebagaimana diketahui, konglomerat Tanah Air gemar berinvestasi di sektor properti RI. Fajar baru industri properti dimulai di era 1980-an dan mulai berkembang hingga masa 2000-an dengan bermunculan pengembang raksasa.

Nama-nama macam Grup Lippo hingga Grup Ciputra adalah segelintir kelompok yang waktu itu ‘nyemplung’ di industri properti dan real estate RI.

Saat ini, ada banyak taipan beserta keluarganya yang berkecimpung di sektor tersebut. (Lihat tabel di bawah ini.)

Sektor properti sendiri sempat mengalami boom di rentang 2010 hingga memuncak pada 2013. Kala itu, investor—termasuk para spekulan--mulai ‘menanam’ duit alias berinvestasi di sektor properti dengan harapan akan banyak pembeli di waktu itu. Kondisi makro RI juga turut mendukung keriuhan ini.

Seiring dengan itu, kinerja keuangan emiten-emiten properti di Bursa Efek Indonesia (BEI)—dan dibarengi oleh kinerja sahamnya--juga melonjak dalam periode tersebut.

Pergeseran arah kebijakan demi mencegah meletusnya gelembung properti di medio 2013 pada gilirannya berdampak besar terhadap sektor properti RI.

Mengutip Indonesia-investments.com, harga properti residensial yang terus melonjak di tengah aksi beli spekulan dan mulai melemanya ekonomi kala itu menjadi alasan kekhawatiran soal pecahnya gelembung (bubble burst).

Sekarang, di tengah aksi kerek suku bunga acuan oleh bank sentral global, termasuk Bank Indonesia (BI), demi menekan inflasi yang meninggi, bagaimana nasib sektor ini?

Masih Ada ‘Saving Grace

Para analis masih memberikan pandangan yang cenderung optimistis terhadap sektor properti, terutama yang melantai di bursa, ke depan.

Analis Nomura, misalnya, menjelaskan dalam risetnya di awal Oktober, pihaknya masih mempertahankan pandangan positif untuk sektor properti.

Dari segi valuasi, kata Nomura, saham emiten properti saat ini diperdagangkan dengan valuasi menarik, yakni sekitar -1 SD (standard deviation) terhadap rerata Net Asset Value (NAV) historis mereka.

Dua nama yang menjadi pilihan utama Nomura adalah CTRA milik Keluarga Ciputra dan SMRA milik Keluarga Sutjipto Nagaria.

“Kami menyukai CTRA karena portofolionya yang luas di seluruh Indonesia, yang berpotensi menangkap boom komoditas dan agresivitasnya dalam peluncuran proyek residensial,” kata Nomura.

Untuk SMRA, Nomura juga menyukai pipeline peluncuran agresifnya untuk semester 2 2022, yang mencakup proyek kota baru. “Satu-satunya pengembang yang melakukannya,” kata Nomura.

Risiko dari rekomendasi tersebut, di antaranya pelemahan rupiah, ‘hiruk-pikuk’ kenaikan harga properti, dan kenaikan suku bunga KPR yang lebih tinggi dari perkiraan.

Senada, HP Sekuritas, dalam risetnya pada 23 September lalu, juga masih optimistis dengan sektor properti Indonesia, dengan menyematkan rating overweight.

Sementara, DBS Group Research, dalam riset 25 September 2022, menulis, pihaknya lebih menyukai saham ‘tahan banting’ alias resilient.

DBS Group mengharapkan, kenaikan suku bunga dan tekanan inflasi menjadi sentimen pada sektor properti RI akan tetap lemah dalam waktu dekat.

“Kami percaya investor mengambil pendekatan yang hati-hati, yang dapat dimengerti kendati kinerja prapenjualan yang baik di 1H22 [paruh pertama 2022] untuk sebagian besar pengembang di bawah cakupan kami bersamaan dengan valuasi yang undemanding [menarik],” jelas DBS Group.

Valuasi, kata DBS Group, adalah ‘the saving grace’ alias aspek penyelamat dari harga saham properti yang anjlok, bahkan di bawah kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

IHSG, di tengah fluktuasi yang terjadi, mampu naik 7,47 persen tahun ini. Namun, indeks sektor properti dan real estate sudah anjlok lebih dari 10 persen year to date (ytd). (Lihat tabel di bawah ini.)

Mirip dengan pandangan Nomura di atas, DBS menilai, sektor properti yang menjadi ‘pemberat’ (laggard) tahun ini diperdagangkan 60% di bawah rerata 5 tahun rasio Revalued Net Asset Value (RNAV).

Selain itu, kata DBS, “Valuasi saat ini lebih rendah tinimbang periode 2013-2015—selama siklus pengetatan kebijakan moneter utama waktu itu dan kenaikan harga bahan bakar minyak [BBM] yang signifikan.”

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement