IDXChannel – Bursa saham Asia serentak turun pada Senin (23/6/2025) seiring investor menanti dengan cemas apakah Iran akan membalas serangan Amerika Serikat (AS) ke situs nuklirnya—yang berpotensi mengganggu aktivitas global dan memicu inflasi.
Pergerakan awal relatif terjaga, dengan dolar hanya mendapat sedikit permintaan safe-haven dan tanpa tanda-tanda tekanan jual massal. Harga minyak sempat naik sekitar 2,8 persen, meski kemudian mereda dari puncaknya.
Para optimistis berharap Iran akan menahan diri setelah ambisi nuklirnya terkendali, atau bahkan mengalami pergantian rezim yang lebih bersahabat.
Namun analis JPMorgan memperingatkan bahwa episode pergantian rezim sebelumnya di kawasan ini justru biasanya mendorong harga minyak melonjak hingga 76 persen dan secara rata-rata naik 30 persen dari waktu ke waktu.
Faktor kunci adalah akses melalui Selat Hormuz, yang pada titik tersempitnya hanya selebar 33 km dan mengangkut sekitar seperempat perdagangan minyak global serta 20 persen pasokan gas alam cair.
“Iran lebih mungkin melakukan gangguan terbatas yang menakuti kapal tanker daripada menutup Selat Hormuz, karena itu sama saja mematikan ekspor mereka sendiri,” kata analis komoditas Commonwealth Bank of Australia, Vivek Dhar, dikutip Reuters.
“Dalam skenario gangguan selektif terhadap jalur pelayaran, diperkirakan harga Brent mencapai minimal USD100 per barel,” ujarnya.
Saat ini Brent diperdagangkan naik cukup terkendali, 2,7 persen ke USD79,12 per barel, sementara minyak mentah AS naik 2,8 persen ke USD75,98. Di pasar komoditas lain, emas sedikit turun 0,1 persen ke USD3.363 per ons.
Pasar saham sejauh ini menunjukkan ketahanan, dengan futures S&P 500 turun moderat 0,5 persen dan Nasdaq turun 0,6 persen.
Indeks MSCI Asia-Pasifik di luar Jepang merosot 0,5 persen, sedangkan Nikkei Jepang melemah 0,49 persen, Shanghai turun 0,12 persen, Hang Seng merosot 0,62 persen, KOSPI minus 0,54 persen, dan ASX 200 Australia berkurang 0,77 persen.
Futures EUROSTOXX 50 turun 0,7 persen, FTSE turun 0,5 persen, dan DAX turun 0,7 persen—Eropa dan Jepang sangat bergantung pada impor minyak dan LNG, sementara AS justru menjadi pengekspor bersih.
Futures suku bunga Fed sedikit turun, kemungkinan mencerminkan kekhawatiran bahwa kenaikan harga minyak yang berkelanjutan akan menambah tekanan inflasi, sementara efek tarif baru mulai terasa pada harga konsumen AS. Pasar masih menilai peluang pemangkasan suku bunga pada pertemuan Fed 30 Juli sangat tipis, meski Gubernur Christopher Waller sempat memecah barisan dan mengusulkan pelonggaran pada Juli. (Aldo Fernando)