Akibatnya, posisi institusi-institusi berkapitalisasi besar di pasar modal ini menjadi cukup diminati dan mendorong aksi jual karena institusi domestik tengah mencari perlindungandan bersaing dengan arus asing.
Hal ini membuat likuiditas saham-saham berkapitalisasi kecil dan menengah sangat rentan.
“Akibatnya, kita hanya akan melihat pasar saham menguat jika investor asing mulai beralih ke arus masuk bersih, namun hal ini kecil kemungkinannya karena tidak ada kisah pertumbuhan yang menarik saat ini,” tulis Algo dalam risetnya.
Pada penutupan perdagangan pekan lalu, Algo mencatat melihat IHSG mencoba menguji level support, namun gagal mendapatkan kembali tren naik.
Oleh karena itu, jika kita gagal mendapatkan kembali angka resisiten di atas 6.900 secara konsisten dalam jangka pendek, kecenderungan IHSG akan diuji di level 6.750 terlebih dahulu, lalu 6.560.
“IHSG kami perkirakan masih sideways di kisaran 6.500-7.000,” pungkas riset Algo.
Black Monday 1987 Terulang?
Black Monday - juga dikenal sebagai Black Tuesday di beberapa bagian dunia karena perbedaan zona waktu- adalah kehancuran pasar saham global yang parah dan sebagian besar tidak terduga yang terjadi tepat pada Senin, 19 Oktober 1987.
Kerugian di seluruh dunia akibat turunnya pasar saham global kala itu diperkirakan mencapai USD1,71 triliun. Ini karena pasar saham AS anjlok lebih dari 20 persen dalam satu hari.
Black Monday juga diawali dengan minggu bearish di mana indeks utama pasar saham turun sekitar 10 persen pada minggu tersebut.
Seluruh 23 pasar saham utama dunia juga mengalami penurunan tajam sepanjang Oktober 1987 dampak rambatan dari Black Monday.
Tingkat keparahan krisis ini memicu ketakutan akan ketidakstabilan ekonomi yang berkepanjangan atau bahkan terulangnya kembali Depresi Besar atau Great Depression.
Sentimen Black Monday membuat pasar saham kala itu ambruk di seluruh dunia. Pertama-tama terjadi di pasar Asia selain Jepang, lalu menyebar ke Eropa, Amerika Serikat, dan terakhir Jepang.
Jika diukur dalam dolar Amerika Serikat, delapan negara mengalami penurunan sebesar 20 hingga 29 persen, tiga negara mengalami penurunan sebesar 30 hingga 39 persen yakni Malaysia, Meksiko, dan Selandia Baru. Sementara tiga negara lainnya mengalami penurunan lebih dari 40 persen kinerja saham yakni Hong Kong, Australia, dan Singapura.
Sementara, negara yang paling sedikit terkena dampaknya adalah Austria dengan penurunan hanya sebesar 11,4 persen, sedangkan yang paling terkena dampak adalah Hong Kong dengan penurunan sebesar 45,8 persen.
Pada Jumat, 16 Oktober, di Eropa, indeks FTSE 100 di Bursa Efek London semua pasar di London ditutup secara tak terduga karena penurunan ini (19 Juni 1987 hingga 19 Januari 1988).
Setelah pasar dibuka kembali, kecepatan kehancuran semakin cepat di mana pada tengah hari, Indeks FTSE 100 jatuh 296 poin atau penurunan 14 persen.
Nilainya turun 23 persen dalam dua hari, di mana kira-kira persentase yang sama dengan penurunan NYSE pada hari terjadinya Black Monday.
Saham-saham kemudian terus turun, meskipun dengan laju yang tidak terlalu drastis, hingga mencapai titik terendah pada pertengahan November sebesar 36 persen di bawah puncak sebelum krisis terjadi dan belum pulih hingga 1989. (ADF)