Sejak kecil, Prajogo kerap membantu ayahnya sebelum berangkat sekolah. Usai menamatkan sekolah menengah pertama Tionghoa setempat (SMP Nan Hua) di Singkawang, ia merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Namun, harapan tak selalu sejalan dengan kenyataan.
Tak kunjung mendapat pekerjaan yang cocok, ia pun kembali ke Kalimantan dan menjadi sopir angkutan umum di rute Singkawang-Pontianak. Profesi itu hanya bertahan sebentar. Setelahnya, ia banting setir berjualan terasi dan ikan asin.
Kehidupan Prajogo berubah pada 1975, ketika ia diangkat menjadi General Manager PT Nusantara Plywood oleh Burhan Uray, bos besar Djajanti Group. Setahun berselang, ia mengambil alih CV Pacific Lumber dan menamainya PT Barito Pacific Lumber. Dari sinilah langkahnya kian mantap.
Perlahan tapi pasti, bisnisnya merambah ke berbagai sektor: dari perbankan (Bank Andromeda), perkebunan cokelat, pabrik kertas, hingga petrokimia. Prajogo bermitra dengan keluarga Soeharto dan para taipan lainnya untuk mendirikan PT Tanjung Enim Pulp dan Kertas, Bank Andromeda, serta PT Chandra Asri—perusahaan petrokimia terbesar di Indonesia.
Krisis keuangan 1997-1998 menjadi ujian berat. Bisnisnya goyah akibat jeratan utang luar negeri. Bank Andromeda pun dilikuidasi pada 1997, dan perusahaan-perusahaan miliknya harus menjalani restrukturisasi utang secara besar-besaran. Namun, Prajogo tak menyerah. Pada 2007, ia berhasil mengakuisisi mayoritas saham PT Chandra Asri dan PT Tri Polyta pada 2008. Keduanya kemudian melebur menjadi Chandra Asri Petrochemical—kini dikenal sebagai Chandra Asri Pacific (TPIA)—pada 2010.