sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Dikepung ‘Lautan Merah’ Bursa Asia Pasifik, IHSG Jadi Jawara di Semester I

Market news editor Aldo Fernando - Riset
30/06/2022 10:28 WIB
Di tengah banyaknya aral gendala sejak awal tahun, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sukses menunjukkan tajinya sepanjang semester I 2022.
Dikepung ‘Lautan Merah’ Bursa Asia Pasifik, IHSG Jadi Jawara di Semester I. (Foto: MNC Media)
Dikepung ‘Lautan Merah’ Bursa Asia Pasifik, IHSG Jadi Jawara di Semester I. (Foto: MNC Media)

IDXChannel – Di tengah banyaknya aral gendala sejak awal tahun, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sukses menunjukkan tajinya sepanjang semester I 2022. Indeks saham acuan domestik tersebut pun sukses menjadi yang terbaik se-Asia Pasifik.

Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), per penutupan Rabu (29/6/2022), IHSG sudah berhasil melonjak 5,81% selama semester I ke posisi 6.942,35.

Memang, pergerakan IHSG terbilang fluktuatif sejak awal tahun, terutama ketika IHSG berbalik arah dan tiba-tiba terjun bebas dari  level tertinggi 7.276 pada 21 April lalu ke posisi 6.598 pada 13 Mei lalu.

Kendati mencoba pulih dan sempat menyentuh 7.193 pada 8 Juni lalu, IHSG kembali terkena tekanan jual sepanjang bulan Juni (minus 2,89%) di tengah aksi jual asing mencapai Rp3,82 triliun di pasar reguler selama bulan tersebut.

Asing sendiri paling banyak melego saham-saham big cap perbankan—yang merupakan salah satu penggerak utama IHSG--selama Juni.

Ambil contoh PT Bank Sentral Asia Tbk (BBCA) dengan nilai jual bersih (net sell) asing mencapai Rp1,47 triliun di pasar reguler. Saham BBCA sendiri minus 3,63% selama bulan Juni. Demikian pula dengan PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) terkena net sell Rp1,4 triliun dan harga sahamnya ambles 4,90%.

Nama besar lainnya, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), juga membukukan net sell jumbo Rp1,2 triliun di pasar reguler yang turut membuat harga saham perseroan anjlok 6,92% selama Juni.

Kendati asing cenderung keluar dari bursa domestik sepanjang Juni, sejak awal Januari lalu (ytd), investor asing masih membukukan pembelian bersih (net buy) Rp53,32 triliun di pasar reguler.

The Fed, Suku Bunga, dan Perang

Fluktuasi IHSG sepanjang paruh pertama tahun ini tak bisa dilepaskan dari sentimen global, terutama efek kenaikan suku bunga oleh bank sentral negara utama dan dampak lanjutan dari perang di Ukraina.

Rezim kenaikan suku bunga, yang dipimpin oleh bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (The Fed), sendiri semata-mata diberlakukan demi meredam inflasi yang meroket, terutama dampak dari macetnya rantai pasok global di tengah perang dan pemulihan pandemi.

The Fed, misalnya, menerapkan kebijakan pengetatan moneter dengan menaikkan suku bunga secara agresif, termasuk quantitative tightening (QT) untuk mengakhiri  kebijakan uang longgar (quantitative easing/QE, suku bunga rendah).

Pada medio Maret, Jerome Powell Cs menaikkan suku bunga acuan (fed funds rate) 0,25% persen menjadi 0,50% untuk menghalau inflasi.

Ternyata tak cukup, pada awal Mei, The Fed kembali menaikkan suku bunga 50 bps menjadi 1,00% di tengah dampak lanjutan invasi Rusia ke Ukraina dan lockdown a la China.

Teranyar, pada 15 Juni, The Fed kembali hawkish dengan menaikkan suku bunga 75 bps menjadi 1,75% di tengah inflasi AS yang menyentuh rekor tertinggi selama 40 tahun, yakni 8,6% yoy pada Mei.

Pendorong melonjaknya inflasi AS Mei adalah biaya energi dan makanan yang masing-masing melonjak 10% dan 34% yoy. Efek perang di Ukraina tampak jelas di dalam angka-angka tersebut.

Perang Rusia dan Ukraina membuat harga minyak mentah dan komoditas (batu bara sampai gandum) meroket lantaran kedua negara tersebut berperan besar sebagai eksportir.

Mengutip artikel Worldbank, Rusia adalah pengekspor gandum, pig iron, gas alam, dan nikel terbesar di dunia, dan juga berperan sentral dalam ekspor batu bara, minyak mentah, dan produk aluminium.

Rusia, bersama Belarusia adalah produsen pupuk yang sentral. Sementara, Ukraina adalah pengekspor utama komoditas pangan, macam gandum dan minyak biji bunga matahari.

Inflasi yang masih di atap langit tersebut membuat Jerome Powell dkk masih akan terus bersikap ‘galak’ ke depan.

Bahkan, menjawab pertanyaan Senator dari Partai Demokrat, Elizabeth Warren, dalam pertemuan di Washington, Rabu (22/6), sang Ketua The Fed tersebut mengakui , potensi resesi sangat memungkinkan untuk dapat terjadi pada kondisi saat ini.

Namun, Powell juga menekankan bahwa hal itu merupakan konsekuensi logis dari upaya The Fed untuk menekan posisi inflasi.

"(Kondisi) Itu (terjadinya resesi) sama sekali bukan hasil yang kami inginkan, tapi tentu itu sebuah kemungkinan (yang bisa terjadi)," ujar Powell.

Aksi pamer ‘otot’ ala Powell atau, meminjam istilah seorang investor, Powell Power, pun tampaknya belum berakhir. Ini terlihat dari polling teranyar Reuters.

Menurut ekonom yang disurvei Reuters, selama 17-21 Juni, The Fed akan menaikkan suku bunga 75 basis poin (bps) atau 0,75% pada pertemuan Juli, diikuti 0,50% pada September.

Efek samping dari sikap agresif The Fed terlihat dari anjloknya kiblat bursa saham global, Wall Street.

Dow Jones Index anjlok 15,19% secara ytd, S&P 500 ambles 20,38% atau memasuki bear market. Maksud dari istilah bear market adalah turunnya indeks, dalam hal ini S&P 500, hingga 20% dari level tertinggi teranyarnya.

Bursa saham Asia-Pasifik pun terkena efek The Fed. Hanya Indonesia (IHSG) dan Singapura (Straits Times Index/STI) yang masih sukses menghijau. Bahkan, nama terakhir pun hanya naik tipis sejak awal tahun ini (0,68% per penutupan pasar 29 Juni).

Sementara, sisanya menjadi lautan merah. FTSE BM Malaysia anjlok 7,33%, VN-Index Vietnam ambles 18,70%, ASX 200 Australia merosot 11,59%, Hang Seng Index (Hong Kong) terjungkal 5,99%

Kemudian, Nikkei 225 (Jepang), KOSPI (Korea Selatan), dan Sanghai Composite Index (China) masing-masing terperosok hingga minus 6,90%, 20,14%, dan 7,64% sepanjang paruh pertama tahun ini.

Menghijaunya IHSG tampak mengindikasikan bahwa bursa saham domestik sejauh ini kebal terhadap goncangan global di tengah masih kuatnya fundamental ekonomi dan boom commodities (meroketnya harga batu bara dan minyak sawit/CPO yang merupakan andalan ekspor RI).

Hanya saja, jalan ke depan masih terjal. Masih ada sejumlah kemungkinan yang bisa membuat kinerja IHSG terganggu, termasuk soal The Fed yang disebutkan di atas. (ADF)

Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement