IDXChannel - Mata uang safe haven dolar Amerika Serikat (AS) terpantau melemah terhadap sekeranjang mata uang utama pada penutupan perdagangan Selasa (4/4).
Indeks dolar AS turun ke level terendah dua bulan di level 101,23 atau 0,04% pada Rabu (5/4), pukul 9.30 WIB.
Penurunan indeks dolar ini merupakan lanjutan dari koreksi beberapa waktu terakhir yang diakibatkan sejumlah peristiwa makroekonomi, seperti keruntuhan Sillicon Valley Bank hingga keputusan pemangkasan minyak OPEC yang berujung pada meroketnya harga minyak.
Disamping itu, data ekonomi terbaru AS seperti jumlah lapangan kerja yang menunjukkan pendinginan dan lesunya aktivitas manufaktur juga berperan menjadi sentimen pergerakan the greenback alias dolar AS.
Menggugat Hegemoni 'Greenback'
Di tengah situasi makroekonomi yang tidak pasti, keberadaan greenback semakin mendapat tantangan dari mata uang lainnya. Renminbi (RBM) yang merupakan mata uang China akhir-akhir ini digunakan lebih sering dalam kegiatan perdagangan negeri Tirai Bambu dengan negara-negara mitra dagangnya.
Terbaru, RBM China telah menggantikan dolar AS sebagai mata uang yang paling banyak diperdagangkan di Rusia, setahun setelah invasi Ukraina menyebabkan serangkaian sanksi Barat terhadap Moskow.
Dilaporkan Bloomberg, penggunaan RBM melampaui dolar dalam volume perdagangan bulanan pada Februari untuk pertama kalinya, berdasarkan laporan transaksi harian dari Moscow Exchange. Sebelum invasi, volume perdagangan RBM di pasar Rusia tak terlalu signifikan.
Kementerian Keuangan Rusia mengubah operasi pasarnya menjadi RBM alih-alih dolar pada awal tahun 2023. Lembaga itu disebut mengembangkan struktur baru untuk dana kekayaan nasional (national wealth fund) dengan menyimpan 60 persen asetnya dalam renminbi.
Bank Rusia secara teratur meminta perusahaan dan warga negara mereka untuk memindahkan aset mereka ke mata uang rubel atau mata uang "ramah" untuk menghindari risiko pemblokiran atau pembekuan.
Terlepas dari semua itu, dolar AS tetap menjadi mata uang paling populer di pasar Rusia hingga sekarang. Performa perdagangan USD dalam hal volume masih tetap bersaing dengan RMB, menurut investigasi Bloomberg.
Selain itu, meskipun RBM lebih populer di Rusia, kontrol akun modal China, serta kekhawatiran geopolitik di antara investor global, tetap menjadi penghalang karena Beijing berupaya mempromosikan penggunaan mata uang tersebut di luar negeri.
Perdebatan tentang potensi matinya hegemoni USD kian menguat setelah Brasil dan China mengumumkan kesepakatan untuk tidak menggunakan USD dalam perdagangan senilai USD150 miliar mereka.
Ini dipandang sebagai melemahnya kekuatan dolar AS, dan munculnya pandangan mungkin menandakan akhir dari dominasi USD.
Hal ini kemudian disusul dengan keputusan Arab Saudi untuk bergabung sebagai mitra dialog Shanghai Cooperation Organization (SCO) , yang dipimpin oleh China beberapa waktu yang lalu.
Mengapa Dolar Sangat Kuat
Riset Macquarie terbaru menemukan, sayangnya, tidak ada mata uang, termasuk RMB, yang saat ini dapat menantang USD.
“Menurut kami itu tidak akan terjadi. Meskipun ada upaya internasionalisasi yang kuat, RMB tetap menjadi pemain yang relatif kecil dalam ekonomi global baik sebagai mata uang transaksi maupun penyimpan nilai aset,” kata laporan Macquarie, Rabu (5/4).
Menurut Macquarie, terlepas dari semakin banyaknya perjanjian perdagangan, saat ini RMB hanya mencakup 17% dari perdagangan China dan menyumbang sekitar 2% dari perdagangan global.