Terlebih, dalam konteks perusahaan terbuka, sejauh ini baru ada dua emiten panas bumi yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), yaitu PGEO dan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN). Artinya, seluruh potensi investasi hijau di lantai bursa nasional hanya akan tertuju pada dua saham tersebut.
Chandra menilai secara fundamental, PGEO memiliki prospek cerah dalam beberapa tahun ke depan. Proyeksi itu dilatari, kata dia, seiring dengan usaha pemerintah dalam mempercepat proses transisi energi bersih di Indonesia.
Namun, Chandra mengingatkan, bahwa potensi yang bagus tersebut tidak bisa begitu saja disampaikan kepada pelaku pasar (investor) tanpa melihat preferensi dari pelaku pasar tersebut.
Yang dimaksud Chandra adalah perbedaan cara pandang antara investor ritel atau perorangan, dengan investor institusi. Chandra meyakini, ada perbedaan cara pandang yang sangat mendasar di antara dua jenis pelaku pasar tersebut.
“Kalau kita bicara ke investor ritel, mereka memiliki horizon investasi pendek sehingga terkadang bisa mengabaikan sisi fundamental. Sebaliknya, investor institusional memiliki orientasi investasi jangka menengah hingga panjang, sehingga perlu membatasi risiko investasinya dengan melihat fundamental,” papar Chandra.
Sementara itu, merujuk pada laporan kuartal tiga 2023, Chandra melihat kinerja operasional PGEO ini cemerlang dengan total kenaikan produksi listrik dan uap sebesar 3.586 GWh (4,3% year-on-year).
Operasi Perseroan sangat stabil dengan faktor ketersediaan 99,9% untuk uap dan 97,6% untuk listrik.
Sementara itu, faktor kapasitas gabungan mencapai 86,0%, dengan uap sebesar 81,0% dan listrik sebesar 92,0% pada kuartal III- 2023. Hal ini mengindikasikan efisiensi yang tinggi dalam operasional.
"Kami melihat momentum yang kuat bagi PGEO karena isu energi hijau yang saat ini sedang gencar disuarakan. Untuk itu, Yuanta telah meningkatkan pertumbuhan jangka panjang menjadi 3% (dari sebelumnya 2%) dan target price pada saham PGEO Rp1.420 per saham," tulis riset dari Yuanta Sekuritas.
(FAY)