IDXChannel – Peta kekuatan saham papan atas di Bursa Efek Indonesia (BEI) tengah bertransformasi. Sejumlah raksasa baru mencuat dan mulai menyalip dominasi lama, menandai kemunculan generasi anyar saham unggulan alias new blue chips.
Emiten-emiten milik konglomerat seperti Barito Renewables Energy (BREN), Chandra Asri (TPIA), hingga Dian Swastatika Sentosa (DSSA) mulai menggeser dominasi bank-bank besar dalam daftar 10 saham dengan kapitalisasi pasar terbesar.
BREN—anak usaha Barito Pacific (BRPT) milik taipan Prajogo Pangestu—mulai menggoyang dominasi BBCA yang selama bertahun-tahun memimpin. Saham konglomerasi lain seperti Chandra Asri (TPIA), Bayan Resources (BYAN), hingga Dian Swastatika Sentosa (DSSA) juga merangsek ke 10 besar.
Sebaliknya, sejumlah nama besar dari sektor perbankan seperti BBRI, BMRI, dan bahkan Telkom (TLKM) mengalami penurunan peringkat. (Lihat tabel di bawah ini.)
Fenomena kemunculan saham unggulan generasi anyar, atau bisa disebut new blue chips, sejatinya bukanlah kisah kekinian—tak ada yang benar-benar baru di bawah matahari bursa.
Menurut Founder WH Project, William Hartanto, ini merupakan bagian dari rotasi sektor yang terus berulang dalam pasar saham.
“New blue chips itu fenomena yang selalu terjadi, bukan hanya khusus tahun 2025 saja,” ujar William kepada IDXChannel.com, Rabu (16/7/2025).
“Sebenarnya ini bagian dari sector rotation, cuma kali ini terjadinya dalam skala besar yang kemudian menghasilkan kedatangan blue chips baru,” imbuhnya.
New Blue Chips dan Selera Pasar
Menurut William, gelombang new blue chips yang tengah terjadi saat ini sangat erat kaitannya dengan kepercayaan pasar terhadap emiten-emiten yang terasosiasi dengan nama-nama besar konglomerat.
“Untuk yang terjadi sekarang, fenomenanya lekat dengan konglomerat. Kelihatan dari saham-saham yang ada kedekatan dengan sosok konglomerat lebih diminati pasar,” katanya.
William juga menilai bahwa fenomena ini bukanlah tren sesaat. Perjalanan menuju status blue chip baru membutuhkan waktu dan konsistensi. “Fenomena ini masih bisa berlangsung sampai 2026, karena kedatangan blue chips baru nggak singkat— butuh waktu bulanan sampai tahunan,” ujarnya.
Ia menambahkan, penyebab munculnya saham-saham unggulan baru ini beragam, mulai dari faktor fundamental hingga sentimen pasar semata.
“Penyebab dari new blue chips ini sendiri variatif. Bisa karena faktor fundamental, tapi paling sering itu karena selera pasar saja, seperti yang terjadi sekarang ini di saham-saham konglomerat,” imbuh William.
Sebagai perbandingan, William mencontohkan bagaimana sebelumnya sektor consumer goods pernah mendominasi dengan HMSP, GGRM, dan UNVR, lalu bergeser ke bank digital dan teknologi seperti ARTO dan GOTO.
Ia menekankan, dinamika ini hampir selalu diawali dari pergeseran arus dana dan sentimen pasar terhadap emiten-emiten tertentu. “Sebagai bagian dari sector rotation, maka penyebabnya sudah pasti didasari oleh selera pasar,” ujar William.
“Saya amati pergerakan arus dana yang berubah dari blue chips tradisional dan berpindah ke saham-saham yang berpotensi menjadi new blue chips.”
Faktor utama pendorong pergeseran ini, lanjutnya, biasanya berkaitan dengan aksi korporasi dan rekam jejak kenaikan harga saham. William menambahkan, “Nah, kenaikan harga ini yang perlahan menaikkan kapitalisasi pasar.”
Karakter Bintang Baru
William pun menjelaskan karakter saham-saham new blue chips. “Market cap tinggi sampai mulai ada efek terhadap pergerakan IHSG. Umumnya ada pembelian asing dan masuk ke dalam indeks-indeks asing, misalnya MSCI,” papar William.
Lalu, karakter lainnya, kata William, tren dalam jangka panjang tidak pernah patah. Dia melanjutkan, biasanya ini dilihat dari grafik mingguan (weekly chart). “New blue chips punya kecenderungan uptrend di time frame ini.”
“Diperkirakan new blue chips ini yang akan menjadi penopang IHSG ke depannya,” katanya.
William bahkan menilai tanda-tanda kemunculan new blue chips sudah terlihat sejak akhir 2024. Saat itu, menurutnya, IHSG justru kesulitan naik di periode window dressing—momen yang biasanya menjadi katalis penguatan pasar.
Ia mencatat bahwa ketika IHSG berhasil naik pun, saham-saham penopangnya bukan lagi dari kelompok blue chips lama. “Ini yang saya perhatikan dari waktu itu,” ujar William, “dan akhirnya saya simpulkan kalau new blue chips akan datang di 2025.”
Lebih lanjut, ia menyebut pergerakan IHSG yang kini berada dalam tren naik justru ditopang oleh saham-saham new blue chips, bukan pemain lama.
“Kalau diperhatikan kondisi pasar saat ini, pergerakan IHSG uptrend dan akan terlihat yang menguat—sekaligus menopang pergerakan bursa—adalah saham-saham new blue chips ini,” demikian William menutup analisisnya. (Aldo Fernando)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.