IDXChannel - Ahli strategi JPMorgan memproyeksikan valuasi indeks saham utama di bursa Wall Street, Amerika Serikat (AS), akan mengalami tekanan seiring dampak dari tingginya tingkat suku bunga.
Hal ini disampaikan pada Selasa (12/9/2023) di mana JP Morgan melihat indeks S&P 500 bisa terlalu mahal (overvalued). Banyak investor juga khawatir akan hal serupa karena imbal hasil Treasury yang meningkat.
Sebelumnya, S&P 500 telah mengalami kenaikan 16,68 persen sepanjang tahun ini, diikuti Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 4,56 persen dan Nasdaq Composite naik paling tinggi 32,6 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)
Di lain pihak, imbal hasil obligasi Treasury AS tenor 10-tahun naik ke angka 4,3 persen pada Rabu (13/9). Angka ini mendekati level tertinggi dalam 15-tahun sebesar 4,34 persen yang dicapai pada 22 Agustus lalu.
Kuatnya performa obligasi pemerintah AS ini karena ketahanan perekonomian AS terhadap suku bunga yang lebih tinggi sejalan dengan spekulasi bahwa The Federal Reserve (The Fed) akan mempertahankan biaya pinjaman pada tingkat yang sama.
Menteri Keuangan AS, Janet Yellen juga menyatakan bahwa terdapat peningkatan keyakinan bahwa perekonomian akan mampu mengendalikan inflasi tanpa memberikan dampak besar terhadap pertumbuhan atau pasar tenaga kerja.
Komentar tersebut mendukung ketatnya pasar tenaga kerja AS Juli yang berada di posisi terendah dalam beberapa bulan dalam klaim pengangguran yang meningkat.
Sementara, konsensus yang terjadi di pasar keuangan meyakini The Fed akan mempertahankan suku bunga tidak berubah pada pertemuan bulan ini. Namun kekhawatiran terhadap inflasi yang tinggi membuat 45 persen pasar bertaruh pada kenaikan akhir sebesar 25bps pada November.
Sementara itu, tingginya penerbitan obligasi dan kekhawatiran mengenai defisit anggaran di AS menekan harga obligasi di pasar sekunder.
Menurut ahli strategi ekuitas JPMorgan, tingkat suku bunga riil saat ini menyiratkan Price to Earnings (PER) Forward indeks S&P 500 sekitar 15 kali hingga 16 kali, berdasarkan data sejak 1982.
Namun PER S&P 500 saat ini sekitar 20 kali, yang artinya sudah cukup mahal.
"Kinerja S&P 500 naik 16 persen YTD, tetapi suku bunga riil yang cukup tinggi menyebabkan biaya modal (cost of capital) bergerak terlalu tinggi dan menyebabkan ketidakseimbangan. Kondisi ini menunjukkan hubungan ini menjadi semakin tidak berkelanjutan,” kata ahli strategi ekuitas JPMorgan dalam sebuah catatan.
JPMorgan juga mengacu pada metrik lain dengan membandingkan PER dengan perkiraan pertumbuhan pendapatan jangka panjang saham-saham di indeks tersebut, dan menemukan indeks mengalami overvaluasi sebesar 14 persen.
Para ahli strategi juga memperingatkan tingkat utang global yang tidak berkelanjutan dikombinasikan dengan peningkatan risiko inflasi yang signifikan telah berkontribusi pada kenaikan tajam suku bunga jangka panjang. (ADF)