IDXChannel – Gelombang gagal bayar sejumlah korporasi besar Amerika Serikat (AS) memicu kekhawatiran pasar keuangan global. Meski otoritas dan sebagian analis masih menyebut kasus-kasus ini sebagai persoalan lokal, pasar melihat pola yang mengingatkan pada krisis keuangan 2008.
Menurut riset Kiwoom Sekuritas, yang terbit pada 17 Oktober 2025, pemicu utama datang dari First Brands, perusahaan consumer goods yang mengajukan perlindungan kebangkrutan (Chapter 11) setelah terungkap adanya dugaan ketidakteraturan pembukuan.
Sekitar USD2,3 miliar dikabarkan ‘menghilang’ dari neraca perusahaan tersebut. Sejumlah bank besar dan manajer aset mengaku memiliki eksposur terhadap obligasi, pinjaman, atau surat berharga terkait First Brands, meski dampak langsungnya disebut masih dapat diserap.
Kasus ini disusul oleh Tricolor Holdings, perusahaan pembiayaan mobil subprime, yang bangkrut di bawah Chapter 7. Perusahaan itu dituduh melakukan praktik “double pledging”, yakni menggadaikan aset yang sama kepada lebih dari satu kreditur.
Reuters melaporkan, dua kebangkrutan ini memicu kekhawatiran di Wall Street terkait efek ‘cockroaches’. Maksudnya, jika satu perusahaan bermasalah, bisa jadi ada banyak kasus tersembunyi lainnya.
Tekanan semakin besar ketika bank-bank regional ikut terpukul. Zions Bancorp mengumumkan write-off sebesar USD50 juta dari dua pinjaman bermasalah di unit California, membuat sahamnya anjlok 13 persen. Western Alliance juga merosot 10,8 persen setelah menghadapi gugatan hukum atas dugaan penipuan dari salah satu debiturnya.
Kiwoom Research mencatat bahwa masalah ini awalnya bersifat lokal, namun sinyal sistemik mulai muncul. Kasus First Brands dan Tricolor terjadi berdekatan dengan kerugian yang dialami bank-bank regional seperti Zions dan Western Alliance. Kombinasi ini memunculkan pola penurunan kualitas kredit di segmen korporasi dan pinjaman regional, terutama di California dan Texas.
Pasar pun bereaksi cepat. Saham bank-bank regional seperti Zions, Western Alliance, dan Comerica terkoreksi 8–15 persen dalam sepekan terakhir. Analis Goldman Sachs dan RBC Capital memperingatkan potensi “mini credit cycle” baru akibat tekanan suku bunga tinggi terhadap perusahaan kelas menengah yang tidak memiliki lindung nilai bunga.
Eksposur terhadap bank besar juga bukan nol. JPMorgan, UBS, dan Jefferies dilaporkan memiliki pembiayaan sekunder terhadap pinjaman korporasi First Brands dan Tricolor melalui sindikasi atau sekuritisasi. Meskipun nilainya relatif kecil terhadap total aset mereka, pasar khawatir pola ini menyerupai 2008: bermula dari sektor kecil, lalu menyebar melalui eksposur kredit turunan.
Hingga kini, Federal Reserve (The Fed) dan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) masih berusaha menenangkan pasar. Otoritas keuangan AS belum melihat ancaman sistemik, namun mengakui tekanan di segmen kredit komersial dan korporasi kecil-menengah terus meningkat. The Fed bahkan telah memberi sinyal pelonggaran moneter kedua bulan ini untuk meredakan ketegangan di pasar kredit.
Kiwoom Sekuritas Indonesia menyimpulkan, rangkaian gagal bayar dan tekanan pada bank regional ini belum menandai krisis perbankan baru. Namun, pasar global telah menganggapnya sebagai peringatan dini. Dampak langsungnya sudah terlihat melalui meningkatnya risk aversion, penurunan harga saham sektor keuangan, serta rotasi investasi ke aset aman seperti emas dan obligasi pemerintah AS.
Goyang Pasar Asia
Pasar saham Asia anjlok pada perdagangan Jumat (17/10/2025), terseret sentimen negatif dari Wall Street menyusul kebangkrutan dua perusahaan besar Amerika Serikat (AS).
Indeks Nikkei 225 turun 1,44 persen, sementara Hang Seng merosot 2,48 persen. Aksi jual meluas ke Kospi Korea Selatan dan Straits Times Index (STI) Singapura, mencerminkan kekhawatiran investor global terhadap potensi gelombang gagal bayar baru.
Henan Putihrai Sekuritas mencatat, meski masalahnya berawal dari kasus lokal, pasar melihat sinyal sistemik mulai muncul.
Kebangkrutan dua perusahaan tersebut terjadi berbarengan dengan kerugian bank-bank regional seperti Zions, Western Alliance, dan Comerica, yang sahamnya terkoreksi 8–15 persen dalam sepekan terakhir. Tekanan suku bunga tinggi memperparah kemampuan bayar korporasi menengah AS.
Seperti analisis Kiwoom di muka, Henan Putihrai juga menilai, eksposur terhadap bank besar juga menambah kekhawatiran. JPMorgan, UBS, dan Jefferies diketahui memiliki pembiayaan sekunder terhadap pinjaman korporasi terkait First Brands dan Tricolor melalui sindikasi dan sekuritisasi. Polanya mengingatkan pasar pada krisis 2008.
Dampaknya langsung terasa di Asia. Saham perbankan dan asuransi di kawasan Asia Timur turun lebih dari 2 persen. Investor berbondong-bondong mengalihkan dana ke emas dan obligasi pemerintah AS. IMF turut memperingatkan risiko “koreksi global yang tidak tertib” di tengah tingginya utang dan valuasi yang rapuh.
Henan Putihrai Sekuritas menilai, situasi ini belum menjadi krisis keuangan penuh, namun cukup untuk mengguncang kepercayaan pasar global. Penurunan tajam di bursa Asia menunjukkan investor kembali ke mode defensif, menjaga likuiditas dan menghindari sektor keuangan sambil menanti sinyal stabilisasi dari The Fed.
IHSG Tergelincir
Dari pasar domestik, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 2,57 persen ke 7.915,66 pada Jumat (17/10/). Kiwoom Sekuritas mencatat, indeks acuan tersebut keluar dari pola teknikal rising wedge yang menopang tren naik sejak April. Level support penting kini berada di kisaran 7.850–7.830 untuk mencegah tren turun baru.
Tekanan berasal dari meningkatnya “risk-off mode” global akibat gelombang gagal bayar korporasi di AS di atas. Harga emas yang melonjak ke atas USD4.300 per ons mencerminkan peralihan investor ke aset aman.
Di dalam negeri, rumor bahwa pemerintah ingin ‘melihat IHSG yang sesungguhnya’ tanpa intervensi saham besar memicu aksi jual pada sejumlah big caps konglomerat, memperdalam pelemahan.
Meski begitu, rencana Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara menyuntik Rp16 triliun ke pasar diharapkan dapat menopang likuiditas. Kiwoom Sekuritas mempertahankan target IHSG akhir tahun di 7.800–8.000, dengan arah pasar jangka pendek sangat bergantung pada stabilisasi kondisi global dan realisasi injeksi dana tersebut. (Aldo Fernando)