IDXChannel - Perusahaan penyewaan co-working space WeWork dikabarkan akan mengajukan kebangkrutan pada awal minggu kedua November 2023.
Perusahaan rintisan alias startup berbasis di Amerika Serikat (AS) tersebut terlilit utang dan mengalami kerugian dalam jumlah besar.
Menurut Reuters, WeWork sedang mempertimbangkan untuk mengajukan kebangkrutan berdasarkan peraturan Bab 11 di New Jersey.
Pada Selasa (31/10), WeWork sebelumnya sempat menandatangani perjanjian dengan kreditor untuk penundaan sementara pembayaran sebagian utangnya, dengan masa tenggang hampir berakhir.
Perusahaan ini memiliki utang bersih jangka panjang sebesar USD2,9 miliar pada akhir Juni dan sewa jangka panjang lebih dari USD13 miliar.
WeWork menjalankan aset-aset yang tidak produktif di tengah meningkatnya kenaikan biaya pinjaman perbankan akibat kenaikan suku bunga The Federal Reserve yang pada gilirannya merugikan sektor real estat komersial di AS.
Saham Anjlok
Saham WeWork langsung anjlok pada perdagangan Rabu (1/11/2023) di bursa Wall Street. Saham WeWork turun 46,49 persen pada penutupan perdagangan di New York Stocks Exchange (NYSE) menyusul laporan bahwa perusahaan tersebut kemungkinan akan bangkrut pada awal minggu depan. (Lihat grafik di bawah ini.)
WeWork Inc. adalah penyedia ruang kerja bersama atau yang populer dikenal sebagai co working space, termasuk ruang bersama fisik dan virtual.
Perusahaan ini berkantor pusat di New York City di mana per 31 Desember 2022, perusahaan mengoperasikan lahan seluas 43,9 juta kaki persegi (4,080,000 m2), termasuk 18,3 juta kaki persegi (1,700,000 m2) di AS dan Kanada dan beroperasi di 779 lokasi di 39 negara, termasuk Indonesia.
Perusahaan ini memiliki 547 ribu anggota, dengan jangka waktu komitmen rata-rata tertimbang selama 19 bulan.
Melansir BBC, bisnis WeWork dulunya digadang sebagai masa depan kantor. Namun perusahaan ini terkendala oleh berbagai masalah, termasuk upaya yang gagal pada tahun 2019 untuk melakukan initial public offering (IPO) di bursa New York dan keluarnya salah satu pendirinya.
Pada 2019, penawaran umum perdana (IPO) perusahaan induknya, The We Company gagal. The Wall Street Journal melaporkan perusahaan tersebut dibanjiri kritik atas tata kelola, model bisnis, dan kemampuannya menghasilkan keuntungan yang diragukan.
Kondisi ini akhirnya mendorong perusahaan ini menunda IPO. Alih-alih melakukan penawaran umum perdana, WeWork memasuki pasar publik dengan melakukan merger dengan perusahaan akuisisi bertujuan khusus (special-purpose acquisition company/SPAC).
Diperkirakan perusahaan ini memperoleh dana sebesar USD1,3 miliar dari kesepakatan tersebut dengan jumlah yang mencakup saham yang dimiliki oleh perusahaan investasi BlackRock dan Fidelity ini.
Perusahaan ini juga terpukul oleh pandemi karena semakin banyak karyawan yang mulai bekerja dari rumah (WFH).
Per Agustus 2023, perusahaan berusia 13 tahun ini mengumumkan kerugian bersih sebesar USD397 juta untuk kuartal kedua tahun ini dengan pendapatan sebesar USD877 juta.
Meskipun pendapatan naik 4 persen secara tahunan (year on year/yoy), CEO sementara WeWork David Tolley mengtakan dalam sebuah pernyataan bahwa bisnis yang tengah dijalankannya terganjal sejumlah kondisi yang mempengaruhi keanggotaan.
“Kelebihan pasokan di real estat komersial, meningkatnya persaingan, dan volatilitas makroekonomi mengakibatkan sedikit penurunan keanggotaan penyewa,” kata Tolley dikutip TechCrunch.
Penurunan tajam saham WeWork hingga mencapai 47 persen merupakan level terendah baru dalam 52 minggu. Penurunan ini membuat kapitalisasi pasar perusahaan hanya mencapai USD121 juta. Nilai ini sangat kontras dengan valuasi USD47 miliar yang dicapai setelah mengumpulkan USD1 miliar dalam putaran Seri H yang dipimpin SoftBank pada Januari 2019. (ADF)