IDXChannel – Saham emiten properti PT Intiland Development Tbk (DILD) menjadi koleksi teranyar investor kenamaan Lo Kheng Hong (LKH) yang diketahui publik. Seiring LKH mengakumulasi saham DILD, bagaimana sebenarnya prospek emiten properti RI?
Menurut data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), yang dirilis di website BEI, Senin lalu (15/8/2022), Lo Kheng Hong tercatat memiliki 651.416.700 saham DILD atau 6,28% per 12 Agustus 2022.
Sebelumnya, pada 11 Agustus 2022, nama LKH belum tercatat di data pemegang saham di atas 5% KSEI.
Seiring dengan masuknya nama dalam daftar di atas, PT CGS-CIMB Sekuritas Indonesia mengurangi kepemilikan saham menjadi 13,49% per 12 Agustus 2022, dari hari sebelumnya 14,82%.
Dengan ini, DILD menambah daftar deretan saham koleksi LKH, terutama yang di atas 5%.
Asal tahu saja, selain menggenggam PNLF, pria yang dijuluki Warren Buffett Indonesia tersebut memiliki sejumlah saham dengan kepemilikan di atas 5%, seperti PT Global Mediacom Tbk (BMTR), PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL), dan PT Clipan Finance Indonesia Tbk (CFIN).
Selain di atas 5%, LKH juga memiliki saham dengan kepemilikan di bawah 5%, seperti emiten batu bara PT ABM Investama Tbk (ABMM) yang sebesar 3,107% dan emiten jasa keuangan grup Panin PT Panin Financial Tbk (PNLF) 3,24%.
Emiten Properti Tahun Ini Bakal Cerah?
Pembelian saham DILD oleh Pak Lo, sapaan akrab Lo Kheng Hong, terjadi di tengah kinerja saham properti yang kurang menggembirakan sepanjang tahun ini.
Rapor indeks IDXPROPERT (properti dan real estate) minus 6,83% sejak awal tahun ini (ytd), per penutupan Kamis (18/8/2022).
Hal tersebut tentu berbanding terbalik dengan kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara ytd yang melesat 9,19%, terbaik di kawasan Asia Pasifik.
Ini artinya, secara umum, saham-saham properti tidak memanfaatkan gelombang bullish IHSG sepanjang 2022.
Perbedaan antara kinerja IDXPROPERT dan IHSG tersebut juga disoroti oleh riset MNC Sekuritas yang terbit pada 1 Agustus 2022.
Research analyst MNC Sekuritas Muhamad Rudy Setiawan dalam papernya menjelaskan, pergerakan harga saham properti di atas kontras dengan kinerja prapenjualan alias marketing sales perusahaan yang tumbuh 41,32% secara tahunan (yoy) dan per kuartal I saja sudah sukses mencapai 26,59% dari target pada tahun penuh (full year/FY) 2022.
Menurut hemat Muhammad Rudy, penyebab sektor properti belum dilirik investor, pertama, karena adanya risiko superinflation atau inflasi yang menyundul langit di AS yang menyebabkan suku bunga The Fed meningkat secara agresif (150bps di paruh pertama 2022).
Hal tersebut, kata Rudy, berdampak pada potensi kenaikan suku bunga acuan dari sejumlah bank sentral di berbagai negara.
“Korelasi perilaku kenaikan suku bunga acuan membawa dampak negatif terhadap pergerakan harga saham properti di Indonesia, karena 70% pembelian masih melalui KPR,” jelas Rudy, dikutip IDXChannel, Jumat (19/8).
Kedua, sekitar 50% dari utang perusahaan pengembang dalam bentuk dollar AS dan dollar Singapura, yang berdampak negatif apabila rupiah terdepresiasi.