IDXChannel - Lonjakan harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) dan minyak mentah berjangka Brent baru-baru ini mengejutkan pasar.
Harga minyak melesat karena adanya rencana pengurangan pasokan oleh negara produsen utama minyak yang tergabung dalam OPEC+ dan dipimpin oleh Arab Saudi.
Tak hanya itu, penurunan produksi minyak serpih AS, mengubah arus perdagangan global di mana AS harus memenuhi kebutuhan nasionalnya dengan cara impor dari pasokan Eropa dan Asia.
Minyak mentah berjangka WTI melonjak lebih dari USD2 per barel pada perdagangan Selasa (19/9/2023) dan juga menarik Brent, sebelum melemah karena investor melakukan profit taking.
Harga minyak Brent, patokan minyak mentah global, menembus USD95 per barel, naik 0,57 persen untuk pertama kalinya sejak November 2022 pada penutupan perdagangan kemarin. Sementara, WTI mengalami penguatan 1,27 persen di level USD92,58 per barel.
Pada perdagangan hari ini, Rabu (20/9) WTI turun di level USD90,79 per barel dan Brent di level USD93,39 per barel, masing-masing turun 0,45 persen dan 0,82 persen.
Sejumlah saham migas di Bursa Efek Indonesia (BEI) juga ditutup menghijau pada perdagangan Selasa.
Saham PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) naik 3,74 persen sementara saham PT Rukun Raharja Tbk (RAJA) naik 3,19 persen. Mengikuti reli kenaikan harga minyak dalam dua minggu terakhir, saham kedua emiten migas ini telah meroket 51,36 persen untuk MEDC selama sepekan dan RAJA naik 4,28 persen dalam perode yang sama.
Saham PT Elnusa Tbk (ELSA) juga diperdagangkan lebih tinggi 0,93 persen dan PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) menguat 0,72 persen.
Nasib Industri Petrokimia
Kenaikan harga minyak juga bisa berdampak pada industri turunan lainnya, yakni petrokimia.
Industri petrokimia adalah industri turunan dari produksi minyak dan gas alam yang diolah menjadi bahan kimia atau bahan konsumsi dalam kehidupan sehari-hari.
Industri petrokimia juga menggunakan produk pencairan batu bara sebagai bahan bakunya.
Industri petrokimia umumnya menggunakan tiga bahan baku, yaitu olefin, aromatika, dan gas sintetis.
RI termasuk salah satu negara dengan ekspor petrokimia terbesar. Pada Juli 2023, BPS mencatat nilai ekspor berbagai produk kimia mencapai USD513 juta dan berada di urutan kelima. (Lihat grafik di bawah ini.)
Contoh produk-produk industri petrokimia hulu antara lain Methanol, Ethylene, Propylene, Butadine, Benzene, Toluene, Xylenes, Fuel Coproducts, Pyrolisis Gasoline, Pyrolisis Fuel Oil, Raffinate dan Mixed C4.
Output produk-produk berbahan petrokimia contohnya adalah plastik, serat sintetis, karet sintetis, pestisida, detergen, pelarut, pupuk, obat-obatan dan vitamin.
Pemain industri petrokimia terintegrasi terbesar di Indonesia adalah emiten milik Prajogo Pangestu, PT. Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA).
TPIA masuk dalam jajaran perusahaan big cap di pasar saham Indonesia dengan nilai mencapai Rp230,99 triliun. TPIA juga mencatatkan kinerja keuangan turun pada kuartal dua tahun ini dengan laba bersih terkontraksi Rp8,81 miliar. Namun secara tahunan, laba bersih TPIA naik 99,09 persen memasuki Q2 2023.
Kinerja saham TPIA secara year to date juga menghijau 3,5 persen. Pada perdagangan hari ini Rabu (20/9/2023), saham TPIA terpantau memerah dengan penurunan 1,12 persen pada pukul 10.42 WIB.
Selain TPIA, ada pula PT PT Lotte Chemical Titan Nusantara Tbk (FPNI) yang juga perusahaan yang memproduksi polythylene pertama di Indonesia.
Polythylene (PE) adalah bahan polimer yang paling banyak digunakan di dunia dan sangat mudah dijumpai di kehidupan sehari-hari.
Pabrik asal Korea Selatan ini berinvestasi sebesar USD3,5 miliar dan akan rampung dan bisa berproduksi pada Maret 2025. Pabrik petrokimia ini diharapkan dapat mengurangi impor produk petrokimia hingga 60 persen.