Dalam riset itu juga dipaparkan, IMF memperkirakan Asia akan mengalami kenaikan inflasi terbesar akibat kenaikan harga minyak global. Hal ini dikarenakan ketidakpastian akan kestabilan makroekonomi di kawasan emerging akibat potensi defisit transaksi berjalan sejalan porsi impor minyak terhadap neraca perdagangan, dan fluktuasi nilai tukar terhadap USD.
"Utamanya, dampak kenaikan harga minyak terhadap inflasi, tergantung pada kebijakan pemerintah di negara tersebut, dalam menjaga harga barang dan jasa yang diatur pemerintah," terangnya.
Untuk Indonesia, menurut riset Panin Sekuritas, kenaikan USD1 per barel untuk minyak Brent akan meningkatkan inflasi sekitar 0,001289% - 0,1541%. Kecenderungannya dorongan terhadap inflasi akan lebih tinggi, saat harga minyak lebih dari USD100 per barel.
Sementara itu, untuk dampak di global, kenaikan harga minyak global sebesar 10% akan berpotensi meningkatkan headline inflasi sekitar 0,4%, dan kenaikan 0,1% terhadap inflasi inti.
Dalam 5 tahun terakhir ini, terpantau peningkatan nilai dan porsi impor minyak mentah oleh Indonesia dari global, tertingginya pada 2022, yaitu mencapai sekitar 17,6% (rerata: 12%).
Sementara itu, pada saat yang bersamaan, nilai tukar rupiah pun turut terdepresiasi ke kisaran Rp15.600 (sebelumnya: Rp14.300).