IDXChannel - Momentum tahun politik pada 2024 mendatang diyakini bakal mampu mendorong pasar saham dan obligasi nasional moncer dan tumbuh positif.
Proyeksi tersebut didasarkan pada meningkatnya ekspektasi masyarakat, khususnya pelaku pasar, terhadap kebijakan suku bunga yang lebih akomodatif, dengan valuasi pasar yang semakin menarik.
Hal tersebut disampaikan oleh Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Katarina Setiawan, dalam keterangan resminya, Rabu (4/10/2023).
Tak hanya itu, Katarina juga memperkirakan bahwa kalangan pelaku pasar umumnya bakal mengantisipasi fenomena window dressing pada akhir tahun, yang kemudian berlanjut dengan praktik January effect pada awal tahun berikutnya.
Karenanya, menurut Katarina, investor sebaiknya tidak terpengaruh dan tetap berinvestasi secara regular, dengan melakukan diversifikasi portofolio, yang disesuaikan dengan tujuan keuangan, jangka waktu dan profil risiko masing- masing.
"Sehingga, diharapkan risiko keseluruhan portofolio dapat terjaga. Sementara hasil investasi semakin mendekati tujuan yang dicanangkan," tutur Katarina.
Sementara, terkait pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), Katarina menyebut bahwa dalam sejarah indeks selalu mampu tumbuh positif dalam tiga Pemilu terakhir.
Pada Tahun Pemilu 2009, misalnya, IHSG tercatat tumbuh 87 persen. Lalu pada 2014, indeks juga tumbuh 22,3 persen. Sedangkan pada 2019, meski minim, IHSG terbukti masih mampu surplus tipis, sebesar 1,7 persen.
Sedangkan, pasar obligasi juga relatif terjaga dengan baik, didukung oleh imbal hasil riil yang menarik dan fundamental makroekonomi yang relatif kuat.
Selain itu, jeda kenaikan suku bunga dan ekspektasi terbatasnya laju penguatan dolar Amerika Serikat (AS) juga dapat mendorong imbal hasil obligasi semakin menurun.
Kondisi tersebut, dalam pandangan Katarina, bakal berdampak positif terhadap kinerja pasar obligasi.
Di lain pihak, pasar Asia juga masih menawarkan iklim investasi yang ideal bagi para investor. Hal tersebut terlihat dari pertumbuhan ekonomi yang membaik, angka inflasi yang mulai melandai, serta suku bunga kawasan yang diperkirakan sudah berada pada puncaknya.
Hal tersebut bertolak belakang dengan kondisi di negara- negara barat yang menunjukkan perlambatan pertumbuhan dan inflasi yang tinggi.
"Pemulihan ekonomi China yang tidak terlalu positif membawa potensi keuntungan tersendiri bagi negara-negara lain di kawasan Asia untuk mendapatkan aliran dana investor asing yang mencari peluang di luar China," tegas Katarina. (TSA)