Kabar kurang menggembirakan kembali datang dari salah satu ekonomi utama Asia, yaitu Jepang.
Dikabarkan Reuters, Senin, (13/2), perekonomian Jepang mengalami rebound sepanjang 2022. Jepang juga disebut terhindar dari resesi. Namun, data terbaru menunjukkan kondisi ekonomi negeri Sakura belum sepenuhnya membaik.
Menurut data terbaru dari pemerintah, Selasa (14/2), ekonomi terbesar ketiga di dunia ini hanya tumbuh 0,6% secara tahunan pada kuartal terakhir tahun lalu. Setelah sebelumnya merosot 1,0% pada periode Juli-September 2022.
Sementara secara kuartalan, ekonomi Jepang tumbuh sebesar 0,2% pada Q4 2022. Kondisi ini berbalik (rebound) dari kontraksi 0,3% pada Q3 tahun yang sama tetapi jauh dari ekspektasi pasar sebesar 0,5%. (Lihat grafik di bawah ini)
Hal ini disebut karena investasi bisnis merosot. Ini menjadi pertanda tantangan yang dihadapi bank sentral yang mulai menghentikan program stimulus terhadap ekonomi secara besar-besaran.
Adapun secara kumulatif, selama setahun penuh, ekonomi Jepang hanya tumbuh 1,1% dibandingkan dengan kenaikan 2,1% pada 2021.
Sementara itu, para analis mengatakan ekonomi Jepang juga ditopang oleh konsumsi swasta yang bertahan dalam melawan hambatan dari kenaikan biaya hidup. Di samping itu, ketidakpastian prospek ekonomi global akan membebani pemulihan Jepang yang tertunda dari dampak pandemi Covid-19.
"Dari pertumbuhan negatif pada Juli-September, rebound tidak terlalu mengesankan. Kita dapat mengharapkan konsumsi meningkat karena belanja layanan stabil. Tetapi sulit untuk memproyeksikan pemulihan yang kuat sebagian karena tekanan dari kenaikan inflasi," kata Kepala Ekonom Daiwa Securities, Toru Suehiro, dikutip Reuters.
Sementara konsumsi swasta naik 0,5% dan permintaan eksternal menambahkan 0,3 poin persentase ke pertumbuhan ekonomi Jepang. Adapun, belanja modal menjadi penghambat ekonomi di mana turun lebih besar dari perkiraan sebesar 0,5%.
Simpanan pribadi juga memangkas pertumbuhan ekonomi 0,5 poin karena perusahaan mengalami penurunan stok mobil dan bahan mentah.
Tantangan Kebijakan BOJ Hingga Risiko Resesi
Bank of Japan (BOJ) baru saja mengumumkan gubernur barunya pada Selasa (14/2). Kazuo Ueda terpilih sebagai gubernur BOJ menggantikan Haruhiko Kuroda yang masa jabatannya akan berakhir pada 8 April mendatang. Ia mantan anggota dewan Kebijakan Bank of Japan berusia 71 tahun dan seorang akademisi di Universitas Wanita Kyoritsu.
Data pertumbuhan ekonomi Jepang yang lemah ini menyebabkan BOJ memiliki tugas rumit. Kazuo Ueda digadang memiliki misi untuk menormalkan kebijakan ultra-longgar BOJ tanpa menggagalkan pemulihan ekonomi yang rapuh.
Sebelumnya, BOJ menetapkan kebijakan ultra longgar atau ultra-easy policy di tengah banyak bank sentral dunia melakukan pengetatan dalam hal kenaikan suku bunga.
BOJ memutuskan untuk mempertahankan kebijakan moneter ultra-longgarnya menjelang akhir bulan lalu. Kebijakan ini menentang ekspektasi pasar bahwa kenaikan inflasi dapat memaksa bank sentral untuk menjauh dari suku bunga rendah.
BOJ mempertahankan target kontrol kurva imbal hasil atau yield curve control (YCC) tidak berubah. BOJ menetapkan kebijakan suku bunga jangka pendek pada posisi ultra-dovish mencapai minus 0,1% dan suku bunga Obligasi Pemerintah Jepang (JGB) 10 tahun berada di level 0%.
Kebijakan YCC merupakan pilar utama upaya bank sentral untuk menjaga suku bunga tetap rendah dan mendorong perekonomian.
Keputusan mengejutkan ini sempat membuat yen jatuh terhadap dolar AS. Yen sempat nyungsep ke level 2,7% terhadap dolar AS setelah pengumuman BOJ tersebut.
Berdasarkan data terbaru pertumbuhan ekonomi, pembuat kebijakan berharap pemulihan konsumsi, yang didorong oleh tabungan yang terakumulasi selama pandemi, akan bertahan cukup lama untuk menaikkan upah dan meredam pukulan pada rumah tangga dari kenaikan biaya makanan dan bahan bakar.
Dengan inflasi melebihi target BOJ 2%, prospek ekonomi dan upah akan menjadi kunci seberapa cepat bank sentral dapat menghentikan program stimulus besar-besaran ini.
"Mungkin sulit bagi BOJ untuk menormalkan kebijakan ultra-longgar tahun ini karena ekonomi luar negeri melambat. BOJ mungkin harus menunggu paling cepat hingga tahun fiskal 2024," kata Takeshi Minami, kepala ekonom di Norinchukin Research Institute.
Jepang sempat mengalami peningkatan jumlah pengunjung dari luar negeri sejak berakhirnya beberapa kontrol ketat akibat Covid-19 pada Oktober tahun lalu. Kondisi ini diharapkan dapat berkontribusi bagi pemulihan ekonomi Jepang.
Menteri Ekonomi Shigeyuki Goto mengatakan bahwa ekonomi berada di jalur pemulihan karena dampak pandemi disebut telah memudar.
"Meningkatnya inflasi dan perlambatan global adalah risiko. Tapi selera belanja perusahaan masih cukup baik dan kami tidak terlalu pesimis tentang prospeknya." kata Shigeyuki Goto setelah rilis data pertumbuhan ekonomi Jepang pada Selasa, (14/2).
Namun, beberapa analis memperingatkan bahwa hambatan global dapat membebani ekonomi Jepang yang bergantung pada ekspor dan menggagalkan pemulihan yang rapuh dengan membuat produsen enggan menaikkan upah.
"Dengan negara ekonomi maju tengah menuju resesi, kami masih berharap perdagangan bisa menyeret Jepang ke dalam resesi juga di semester pertama, terutama karena investasi bisnis melemah lebih cepat dari yang kami perkirakan," kata Darren Tay, ekonom Jepang di Capital Economics. (TSA)