IDXChannel – Saham-saham bank besar melonjak pada perdagangan Senin (20/10/2025) seiring pelaku pasar menantikan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada Rabu (22/10) mendatang.
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), hingga pukul 15.09 WIB, saham-saham perbankan utama melesat serempak.
Saham PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) memimpin penguatan dengan lonjakan 6,58 persen ke level Rp4.050 per unit. Saham PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) naik 5,68 persen, sementara PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) turut menguat 6,00 persen.
Kenaikan tak hanya terjadi pada bank-bank di atas. Saham PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) juga terapresiasi 5,16 persen, disusul PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN) yang melompat 8,33 persen. Saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), bank swasta Grup Djarum, ikut mencatat kenaikan signifikan sebesar 5,67 persen.
Pengamat pasar modal Michael Yeoh menilai, potensi pemangkasan suku bunga acuan BI alias BI Rate mulai memicu respons menarik dari investor asing, terutama pada saham perbankan.
“Menyusul BI rate yang berpotensi dipangkas menurut konsensus sebesar 25 basis poin, kita perhatikan memang ada beberapa pergerakan menarik dari foreign yang berbalik arah melakukan akumulasi di saham perbankan,” ujar Michael, Senin (20/10/2025).
Menurutnya, momen ini menjadi sorotan karena valuasi sektor perbankan kini berada pada level terendah sejak 2022.
“Hal ini cukup menarik menyusul perbankan saat ini berada dalam tiitk terendah dari tahun 2022,” katanya.
Namun, ia mengingatkan bahwa secara teknikal, sinyal pembalikan tren masih belum terlihat. Pergerakan saat ini baru sebatas pantulan dari area support yang kuat.
Michael menambahkan, peluang pembalikan arah baru akan lebih jelas dalam beberapa bulan mendatang jika saham-saham bank besar mampu bertahan di level support tersebut.
“Jika saham big banks mampu mempertahankan area-area support saat ini, maka dalam 1-2 bulan kedepan baru akan terlihat ada potensi pembalikan arah,” tutur Michael.
Ia menekankan, berdasarkan pola historis, pergerakan saham bank besar cenderung tidak membentuk pemulihan berbentuk huruf V, melainkan U.
“Karena sejatinya, pergerakan bigbanks secara historical amat jarang terjadi V-shaped recovery, sering terjadi U-shaped recovery yang tentunya memerlukan area sideways dan akumulasi yg berkisar antara 1-3 bulan,” tutur Michael.
BI Siap Pangkas Bunga Lagi
BI diperkirakan kembali memangkas suku bunga acuannya pada Rabu (22/10) dalam pertemuan keempat secara berturut-turut, menjadi 4,50 persen.
Langkah ini mencerminkan fokus pembuat kebijakan yang semakin besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, meskipun nilai tukar rupiah masih melemah, menurut jajak pendapat ekonom yang dilakukan Reuters.
Bulan lalu, bank sentral mengejutkan pasar dengan pemangkasan suku bunga. Gubernur BI Perry Warjiyo saat itu menyatakan akan ‘habis-habisan’ memperkuat pertumbuhan sambil tetap menjaga stabilitas pasar keuangan.
Nilai tukar rupiah memang sempat pulih dalam beberapa pekan terakhir berkat intervensi pasar valuta asing, namun secara keseluruhan masih melemah sekitar 3 persen sejak awal tahun. BI sendiri memiliki mandat untuk menjaga stabilitas nilai tukar.
Meskipun pertumbuhan ekonomi kuartal kedua melampaui perkiraan, sejumlah ekonom memperingatkan bahwa permintaan domestik mulai kehilangan daya dorong. Dengan inflasi berada di level 2,65 persen—masih dalam target BI sebesar 1,5 persen hingga 3,5 persen—ekspektasi terhadap pemangkasan suku bunga kembali menguat.
Dari 28 ekonom yang disurvei Reuters pada 13–20 Oktober, sebanyak 21 orang memperkirakan BI akan menurunkan suku bunga acuan reverse repo tujuh hari sebesar 25 basis poin menjadi 4,50 persen pada 22 Oktober.
Sisanya memperkirakan suku bunga tetap di 4,75 persen. Survei tersebut juga menunjukkan ekspektasi bahwa suku bunga fasilitas simpanan dan pinjaman overnight akan dipangkas 25 basis poin menjadi masing-masing 3,50 persen dan 5,25 persen, meskipun berdasarkan sampel yang lebih kecil.
“Pejabat bank sentral kini lebih menitikberatkan pada kekhawatiran terhadap pertumbuhan,” ujar Deputi Kepala Ekonom Pasar Berkembang Capital Economics, Jason Tuvey, dikutip Reuters.
Tuvey menambahkan, “Data dengan eksposur rendah menunjukkan perekonomian kehilangan momentum. Penjualan kendaraan turun dalam beberapa bulan terakhir, kepercayaan konsumen melemah, dan pertumbuhan ekspor melambat.”
Kekhawatiran atas pertumbuhan, kata Tuvey, ditambah apresiasi rupiah belakangan ini, membuat pihaknya memperkirakan BI akan memangkas suku bunga 25 basis poin.
Perkiraan median menunjukkan suku bunga acuan akan berakhir di level 4,25 persen pada akhir tahun ini dan bertahan di level tersebut hingga 2026.
“Kami memperkirakan toleransi terhadap pelemahan rupiah akan sedikit lebih longgar untuk memberi ruang pelonggaran moneter lanjutan. Meskipun suku bunga riil antarbank sudah turun, masih ada ruang untuk pemangkasan lebih lanjut,” ujar Ekonom Oxford Economics Adam Ahmad Samdin, dilansir dari Reuters.
Meski ruang pelonggaran tambahan masih terbuka, sejumlah ekonom menyoroti kekhawatiran terhadap independensi BI setelah adanya skema berbagi beban dan rancangan undang-undang yang akan memperluas peran DPR dalam mengevaluasi kinerja BI.
“Jika pelonggaran kebijakan terus berlanjut dan lebih agresif dari perkiraan analis, hal itu akan memicu kekhawatiran bahwa pejabat BI tunduk pada tekanan politik,” kata Tuvey.
“Dalam jangka panjang, hal ini dapat berisiko membuat ekonomi memanas, mendorong inflasi naik, meningkatkan premi risiko aset Indonesia, dan menekan pertumbuhan jangka panjang,” tuturnya.
Jajak pendapat tersebut menunjukkan perekonomian Indonesia diperkirakan tumbuh sekitar 5 persen pada 2025 dan dua tahun berikutnya.
Angka ini jauh di bawah target ambisius Presiden Prabowo Subianto yang mencapai 8 persen, namun sejalan dengan tren pertumbuhan beberapa tahun terakhir. (Aldo Fernando)