IDXChannel - Nilai tukar (kurs) rupiah pada perdagangan hari ini, Selasa (31/12/2024), ditutup menguat 10,50 poin atau 0,06 persen ke level Rp16.132 per dolar AS setelah sebelumnya juga terapresiasi. Hal ini juga sejalan dengan sentimen global dan domestik.
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi mengatakan, penguatan rupiah juga disebabkan oleh sentimen eksternal yaitu terpilihnya Donald Trump sebagai presiden baru.
Hal itu turut memberikan dorongan bagi dolar AS karena kebijakannya berupa pelonggaran regulasi, pemotongan pajak, kenaikan tarif, dan pengetatan imigrasi dianggap pro-pertumbuhan dan inflasioner, dan kemungkinan akan membuat Federal Reserve (The Fed) tidak memangkas suku bunga dengan cepat tahun depan.
“Bank sentral AS memproyeksikan hanya dua kali pemotongan suku bunga sebesar 25 bp pada tahun 2025 pada pertemuan kebijakan terakhir tahun ini awal bulan ini, dan pasar sekarang memperkirakan hanya sekitar 35 basis poin pelonggaran untuk tahun 2025,” tulis Ibrahim dalam risetnya, Selasa (31/12/2024).
Rentang perdagangan kemungkinan akan ketat pada minggu yang terpengaruh liburan ini, dan fokus akan tertuju pada angka pengangguran mingguan pada Kamis dan data PMI manufaktur ISM sehari kemudian, serta komentar dari anggota FOMC Thomas Barkin.
Selain itu, data indeks manajer pembelian menunjukkan pada Selasa menujukkan aktivitas manufaktur China berkembang selama tiga bulan berturut-turut pada Desember karena serangkaian langkah stimulus baru terus memberikan dukungan. Namun, kenaikan tersebut sedikit lebih rendah dari ekspektasi pasar dan di bawah pembacaan bulan sebelumnya.
Hal ini memicu kekhawatiran tentang kesehatan industri jangka panjang dari ekonomi terbesar kedua di dunia, yang telah menderita perlambatan ekonomi dan sektor properti yang terkepung. Pasar menunggu kejelasan lebih lanjut tentang rencana Beijing untuk langkah-langkah stimulus mendatang.
Dari sentimen domestik, jumlah kelas menengah di Indonesia terus mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelas menengah di Indonesia mencapai 47,85 juta jiwa pada 2024 atau setara dengan 17,13 persen proporsi masyarakat di tanah air.
Jumlah itu menurun dibandingkan 2019 yang mencapai 57,33 juta jiwa atau setara 21,45 persen dari total penduduk. Artinya terjadi penurunan sebanyak 9,48 juta jiwa.
Bersamaan dengan itu, data kelompok masyarakat kelas menengah rentan atau aspiring middle class malah naik, dari 2019 hanya sebanyak 128,85 juta atau 48,20 persen dari total penduduk, menjadi 137,50 juta orang atau 49,22 persen dari total penduduk.
Penyebab turunnya kelas menengah di Indonesia, mulai dari dampak pandemi COVID-19 yang menyebabkan banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan sehingga terus menguras tabungan mereka, inflasi yang tinggi dan menurunnya pendapatan masyarakat Indonesia yang menyebabkan daya beli di masyarakat Indonesia mengalami penurunan.
Selain itu, program makanan bergizi gratis (MBG) yang digagas pemerintah Prabowo Subianto menyimpan potensi kebocoran anggaran hingga Rp8,5 triliun per tahun. Kebocoran terjadi karena model distribusi sentralistik berbasis vendor besar dan dapur umum yang diusulkan pemerintah menjadi salah satu celah besar yang rentan terhadap inefisiensi dan korupsi.
Selain potensi kerugian finansial, skema sentralistik ini dinilai memiliki kelemahan sistemik yang memperbesar risiko korupsi. Minimnya transparansi dalam pengelolaan anggaran dan pengawasan yang tidak memadai menjadi faktor utama yang membuat model ini rawan terhadap penyalahgunaan dana.
Berdasarkan data di atas, mata uang rupiah untuk perdagangan selanjutnya diprediksi bergerak fluktuatif namun ditutup menguat direntang Rp16.070 - Rp16.150 per dolar AS.
(Febrina Ratna)