IDXChannel - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ditutup melemah pada akhir perdagangan Senin (21/7/2025), turun 26,5 poin atau sekitar 0,16 persen ke level Rp16.323 per dolar AS.
Menurut pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi, pelemahan ini terjadi salah satunya karena meningkatnya ketidakpastian tarif AS terus menjadi trending di kalangan para investor, setelah Wall Street Journal melaporkan pada hari Minggu bahwa Uni Eropa sedang mempersiapkan tindakan balasan atas tarif perdagangan Presiden AS Donald Trump.
"Hal ini merupakan tanggapan atas tuntutan pejabat AS atas lebih banyak konsesi dari blok tersebut untuk kesepakatan perdagangan potensial, termasuk tarif dasar sebesar 15 persen, yang mengejutkan para negosiator Uni Eropa," kata Ibrahim dalam risetnya, Senin (21/7/2025).
Laporan WSJ menggarisbawahi ketidakpastian atas kebijakan perdagangan AS, terutama karena batas waktu 1 Agustus untuk pemberlakuan tarif Trump semakin dekat. Menteri Perdagangan Howard Lutnick pada hari Minggu mengatakan bahwa 1 Agustus adalah tenggat waktu yang ketat untuk tarif, yang berkisar antara 20 hingga 50 persen terhadap negara-negara ekonomi utama.
Investor juga sedang menunggu berita dari AS tentang kemungkinan sanksi lebih lanjut, setelah Presiden Donald Trump awal pekan ini mengancam akan memberikan sanksi kepada pembeli ekspor Rusia kecuali Moskow menyetujui kesepakatan damai dalam 50 hari. Selain itu, investor bersikap hati-hati karena tarif AS akan mulai berlaku pada 1 Agustus.
Di Asia, hasil pemilihan majelis tinggi Jepang, yang diadakan selama akhir pekan, menunjukkan Partai Demokrat Liberal yang berkuasa kehilangan mayoritasnya hanya mengamankan 47 kursi dari 248 kursi yang tersedia, menimbulkan keraguan atas masa depan pemerintahan Jepang.
Dari sentimen dalam negeri, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2025 diperkirakan tidak jauh berbeda dengan kuartal sebelumnya sebesar 4,87 persen secara tahunan.
Walaupun di kuartal kedua terdapat momen libur sekolah, tetapi dampaknya tidak sebesar Ramadan dan Lebaran. Selain itu, belanja pemerintah masih lambat. Pemerintah telah mulai membuka efisiensi pada Maret lalu, tetapi serapannya masih belum terakselerasi.
Kemudian, pemerintah memang memberi stimulus, tetapi kebijakan tersebut baru muncul pada akhir kuartal kedua alias Juni 2025. Belum lagi cakupan stimulus yang relatif terbatas, hanya untuk calon kelas menengah, padahal kelompok kelas menengah lah yang menyumbang lebih dari 50 persen dari total konsumsi.
Konsumsi rumah tangga pada periode tersebut yang menyumbang 54,53 persen terhadap PDB hanya mampu tumbuh 4,89 persen YoY meski terdapat Ramadan dan Lebaran. Sementara konsumsi pemerintah kontraksi 1,38 persen dan hanya menyumbang 5,88 persen terhadap PDB. Pembukaan blokir anggaran sampai dengan 24 Juni 2025 telah dilakukan senilai Rp134,9 triliun dari total Rp306,7 triliun yang dicadangkan.
Terbukti dalam Laporan Semester I APBN 2025, realisasi belanja negara pada periode tersebut baru mencapai Rp1.406 triliun atau 38,8 persen dari pagu yang mencapai Rp3.621,3 triliun. Belanja negara bahkan diperkirakan hanya akan tersalurkan 97,4 persen atau sekitar Rp3.527,5 triliun sampai dengan akhir tahun.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan meyakini usai membuka blokir anggaran dan ditambah dengan stimulus, ekonomi pada kuartal II/2025 dapat tumbuh lebih dari 4,7 persen estimasi awal otoritas fiskal dan pemerintah telah berusaha untuk mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi untuk kuartal II 2025.
Hal tersebut dilakukan melalui belanja pemerintah berupa penyaluran stimulus fiskal, mulai dari diskon transportasi, Bantuan Subsidi Upah (BSU), hingga tambahan bantuan pangan yang totalnya mencapai Rp24,4 triliun.
Berdasarkan analisis tersebut, Ibrahim memprediksi bahwa mata uang rupiah akan bergerak fluktuatif pada perdagangan selanjutnya dan berpotensi ditutup melemah dalam rentang Rp16.310 - Rp16.360 per dolar AS.
(kunthi fahmar sandy)