Mengutip Trading Economics, Keterlibatan langsung AS dalam konflik ini memicu kekhawatiran bahwa Iran akan membalas dengan mengganggu aliran minyak global dari kawasan Timur Tengah. Iran merupakan produsen dan eksportir minyak utama, serta berada di sekitar Selat Hormuz—jalur sempit yang dilalui sekitar 20 persen minyak mentah dunia.
Menurut media pemerintah, parlemen Iran pada Minggu telah menyetujui usulan untuk menutup Selat Hormuz, meskipun keputusan akhir berada di tangan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi dan Pemimpin Tertinggi Iran.
Analis Phillip Nova, Priyanka Sachdeva, dilansir dari Dow Jones Newswires, mengatakan bahwa pasar minyak kini bersiap menghadapi reaksi Iran atas serangan AS. Ia mencatat potensi Iran untuk mencoba menutup Selat Hormuz yang merupakan koridor energi strategis. Meski harga minyak sempat melonjak, perdagangannya di awal sesi Asia terlihat stabil—menandakan bahwa sebagian besar “premi perang” sudah tercermin dalam harga.
Sachdeva menambahkan, untuk mendorong harga lebih tinggi lagi, harus ada bukti gangguan nyata terhadap pasokan. Sentimen saja tidak cukup, apalagi mengingat OPEC+ masih memiliki kapasitas cadangan yang besar. Namun, ketidakpastian masih sangat tinggi di pasar minyak.
Analis Danske Bank, Minna Kuusisto, menyebut, jika konflik Iran-Israel membuat Selat Hormuz tak dapat dilayari, maka hal itu akan memicu guncangan pasokan yang belum pernah terjadi sebelumnya.