IDXChannel - Kinerja pasar saham Indonesia di 2025 diproyeksi masih akan solid, meskipun menghadapi sejumlah tantangan ekonomi. Schroders Indonesia dalam risetnya menyampaikan rasa optimistisnya, namun tetap berhati-hati.
Kejelasan mengenai kebijakan domestik dan asing adalah faktor kunci. Ekspektasi pemerintah terhadap pertumbuhan PDB year on year (yoy) sebesar 5,2 persen dan ekspektasi konsensus terhadap pertumbuhan laba per saham atau earning per share (EPS) yoy sekitar 10 persen untuk 2025 akan membuat Indonesia menjadi salah satu pasar yang tangguh secara global.
“Program-program pemerintah yang terlihat pro konsumsi dan pertumbuhan secara teori positif untuk pasar saham,” demikian dikutip dari Schroders Indonesia Outlook 2025 pada Rabu (1/1/2025).
Sementara itu, pertumbuhan laba perusahaan yang sehat dari sektor-sektor seperti perbankan dan konsumen masih diharapkan guna mendorong kinerja pasar saham domestik.
Meskipun begitu, gangguan diperkirakan dapat datang baik dari sisi global seperti kembalinya Trump sebagai Presiden AS maupun dari dalam negeri, di mana investor juga terus mencermati eksekusi kebijakan dari kabinet yang baru.
Pergerakan mata uang juga sangat penting untuk pasar saham. Dari sisi valuasi, Indonesia masih diperdagangkan pada valuasi yang menarik sebesar 12,1x PE 2025, yang masih lebih murah dibandingkan dengan peers negara maju seperti AS dan Jepang serta peers negara berkembang seperti India dan Malaysia.
Dalam hal aliran modal, Schroders Indonesia menyebut pasar Indonesia masih memiliki potensi untuk mendapatkan manfaat dari sentimen lemah terhadap China karena Presiden terpilih Trump, di mana Trump disebut-sebut akan tetap bersikap keras terhadap China di saat ekonominya masih berjuang untuk pulih.
Oleh karena itu, di pasar negara Asia berkembang, India bersama dengan negara-negara ASEAN seperti Indonesia akan menjadi fokus utama bagi investor saham global. Meskipun mulai terlihat tren pembalikan pertumbuhan PDB dan laba bersih India, yang jika terus berlanjut, maka pasar negara berkembang ASEAN termasuk Indonesia kemungkinan akan menarik perhatian investor saham global.
Selain itu, akan lebih banyak produsen yang mengalihkan fasilitas mereka dari China ke negara lain termasuk Indonesia, sehingga mendorong lebih banyak aliran foreign direct investment (FDI). Namun, satu risiko negatif dari China adalah dalam hal perdagangan karena Indonesia masih menjadi salah satu mitra dagang terbesar Indonesia.
Meskipun berita utama terkait stimulus dapat memberikan dukungan kepada China dari waktu ke waktu, investor diperkirakan masih ingin melihat perbaikan dalam data makro China terlebih dahulu sebelum pemulihan menjadi struktural.
Risiko bagi China adalah jika perang dagang dengan AS meningkat maka pertumbuhan PDB China akan menghadapi tantangan lebih lanjut karena ekspor telah menjadi pendorong pertumbuhannya dalam beberapa tahun terakhir dengan lemahnya permintaan domestik.
(Dhera Arizona)